Seperti Ini Sejarah Perkembangan Petasan

Mendekati momen Lebaran, atau hari raya lainnya, biasanya anak-anak akan merayakannya dengan menyalakan petasan. Hal itu membuat hari raya identik dengan petasan. Hingga kini, membakar petasan seolah sudah menjadi tradisi. Namun tahukah Anda mengenai sejarah perkembangan petasan itu sendiri?

Dilansir dari Yahoo, Minggu (20/7/2014), tradisi membakar petasan ternyata sudah ada sejak zaman Dinasti Han di Tiongkok pada 200 SM. Saat itu, makhluk gunung bernama Nian selalu turun gunung dan mengganggu perayaan tahun baru Imlek. Untuk mengusir Nian, penduduk kemudian membuat suara ledakan dari bambu, yang mereka sebut baouzhu. Sejak itu petasan dipakai dalam setiap perayaan maupun festival di Tiongkok, termasuk Imlek. Dari situ, bisa dikatakan kalau sebenarnya tradisi petasan ini berasal dari Tiongkok.

Petasan kemudian berkembang dengan penemuan bubuk mesiu pada era Dinasti Sung (960-1279) oleh seorang pendeta bernama Li Tian yang tinggal dekat kota Liu Yang di Provinsi Hunan. Saat itu pula didirikan pabrik petasan yang menjadi dasar pembuatan kembang api, yang memancarkan warna-warni dan pijar-pijar api di angkasa. Sampai sekarang Provinsi Hunan masih dikenal sebagai produsen petasan dunia.

Beberapa waktu kemudian, petasan mengalami perkembangan, dari yang awalnya menggunakan bambu lalu berubah menjadi gulungan kertas. Petasan juga merambah negara Italia melalui Marcopolo pada tahun 1292. Pada masa Renaissance, bangsa Italia mengembangkan kembang api dengan warna-warni yang lebih memikat sebagai bagian dari perayaan seni dan tradisi masyarakat Eropa. Italia dianggap sebagai negara Eropa pertama yang memproduksi petasan dan kembang api.

Masuknya petasan ke Indonesia diduga dibawa oleh pedagang Tiongkok yang melakukan perdagangan ke Indonesia. Namun saat itu, tepatnya tahun 1650, petasan sempat dilarang oleh VOC karena berbahaya dan bisa menimbulkan kebakaran, terutama di kebun-kebun milik tuan tanah dan pemerintah, serta rumah penduduk yang umumnya masih terbuat dari bambu dan atap rumbia. Selain itu suara yang ditimbulkan oleh petasan juga mirip dengan suara yang ditimbulkan oleh senjata api, sehingga membuat VOC sulit membedakannya.

Larangan serupa juga diberlakukan pemerintah Hindia Belanda dan pemerintah Indonesia setelah merdeka. Pelarangan penggunaan petasan ini masih terjadi hingga kini, namun tetap saja warganya tetap bandel dan nekat menyalakan petasan. Polisi sudah merazia penjual dan pemilik petasan, memusnahkan banyak petasan, tapi petasan impor tetap saja masuk lewat pelabuhan. Produsen dan penjual petasan juga diam-diam menjualnya. Setiap tahun, sekalipun ada larangan, razia, korban juga selalu berjatuhan, petasan masih mewarnai suasana perayaan di Indonesia.

Rentetan bunyi petasan dalam sebuah pesta hajat dapat dijadikan sebagai simbol status sosial seseorang di masyarakat. Petasan juga bisa menjadi penanda rasa syukur. Namun masa kini bukanlah masa seperti dulu, dan ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk menandai rasa syukur. Kini tinggal Anda tanya pada diri Anda sendiri, apakah suara petasan masih dibutuhkan? (tom)

Written by Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

STORY: Ayah Pekerja Keras Meski Kehilangan Kedua Kakinya

Kenali Ciri Takjil yang Tidak Aman Dikonsumsi