Kentang Ternyata Bisa Jadi Sumber Energi Listrik

Kentang merupakan makanan alternatif sebagai pengganti nasi. Di beberapa negara bahkan menggunakan kentang sebagai makanan pokoknya. Selain untuk dimakan, kentang ternyata memiliki kegunaan lainnya yang tak disangka-sangka.

Dalam beberapa tahun terakhir, Haim Rabinowitch, seorang peneliti, dan beberapa rekannya sedang mencoba ide ‘tenaga kentang’ untuk menghasilkan energi agar orang-orang dapat berhenti berlangganan listrik. Tancapkan sepasang plat logam, kabel, dan lampu LED ke sebutir kentang, maka menurut mereka umbi itu bisa memberi penerangan bagi kota dan desa terpencil di seluruh dunia.

Mereka juga telah menemukan teknik yang sederhana dan orisinal untuk membuat kentang menghasilkan energi dengan baik. â??Sebutir kentang dapat memberi tenaga bagi lampu LED untuk menerangi satu kamar selama 40 hari,â? pengakuan Rabinowitch, yang berasal dari Hebrew University of Jerusalem, dikutip dari BBCIndonesiacom, Jumat (22/5/2015).

Ide ini tampaknya aneh, tapi sebenarnya berakar pada ilmu pengetahuan yang sudah mapan. Tetap saja, Rabinowitch dan timnya menemukan bahwa menerapkan tenaga kentang ke dunia nyata lebih rumit ketimbang yang diduga. Padahal, prinsip dasar teknik ini diajarkan di kelas sains di sekolah menengah dengan memperlihatkan cara kerja baterai.

Kentang sering menjadi pilihan favorit untuk mengajarkan prinsip ini di kelas sains sekolah menengah. Namun, yang mengejutkan bagi Rabinowitch adalah, tak ada yang secara ilmiah mempelajari kentang sebagai sumber energi. Maka pada tahun 2010 ia memutuskan untuk mencobanya, bersama dengan mahasiswa PhD, Alex Goldberg, dan Boris Rubinsky dari the University of California, Berkeley.

â??Kami mengamati 20 jenis kentang berbeda,â? kata Goldberg, â??dan kami melihat resistensi internal mereka, yang membantu kami memahami berapa energi yang hilang oleh panas.â?

Mereka menemukan bahwa dengan merebus kentang selama delapan menit, maka jaringan organik di dalamnya buyar sehingga mengurangi resistensi serta membuat gerakan elektron menjadi lebih bebas dan bisa menghasilkan lebih banyak energi.

Kentang rebus juga meningkatkan asupan energi dengan mengiris kentang menjadi empat atau lima potong, masing-masing dikepit oleh lempengan tembaga dan seng untuk membentuk rangkaian. â??Kami menemukan bahwa kami bisa meningkatkan output sepuluh kali lipat, yang amat menarik secara ekonomis karena menurunkan ongkos produksi energi,â? kata Goldberg.

â??Itu adalah energi bertegangan rendah,â? tambah Rabinowitch, â??tapi cukup untuk membuat baterai yang bisa mengisi ulang ponsel atau laptop di tempat-tempat yang tak punya saluran listik.â?

Jika dilihat dari sudut pandang biaya, sebutir baterai dari kentang rebus dengan elektroda seng dan tembaga bisa menghasilkan sumber energi bergerak sekitar USD 9 (Rp118.000) per kwh, atau 1/50 lebih murah daripada satu butir baterai 1,5 volt AA Alkaline atau baterai sel D, yang berharga USD 49-84 (Rp 588 ribu sampai sekitar Rp 1 juta) per kwh. Ini diperkirakan juga lebih murah 1/6 kali dibanding lampu minyak tanah standar yang dipakai di negara-negara berkembang.

Lalu kenapa pemakaian energi listrik dari kentang ini masih belum banyak digunakan dan sukses besar? Dengan jumlah 1,2 miliar orang yang tidak punya akses terhadap listrik, kentang yang bersahaja ini bisa menjadi jawaban, setidaknya begitulah pikiran para peneliti. â??Kami rasa banyak organisasi yang akan tertarik,â? kata Rabinowitch. â??Misalnya, politisi di India akan berminat untuk mengukir nama mereka di kentang, lalu membagi-bagikannya. Harga sebutirnya tak sampai satu dolar!â?

Tiga tahun percobaan berjalan dengan baik, mengapa tak ada juga pemerintah, perusahaan atau organisasi yang merangkul baterai kentang ini? â??Jawaban sederhananya adalah: mereka bahkan tak tahu soal ini,â? kata Rabinowitch. Selain itu juga masih ada beberapa masalah lainnya.

Permasalahan yang utama adalah persoalan dalam menggunakan makanan sebagai energi. Oliver Dubois, pejabat senior sumber daya alam di Badan PBB untuk Makanan dan Pertanian (FAO) mengatakan bahwa menggunakan makanan untuk energi â??misalnya menggunakan tebu sebagai bahan bakar bioâ?? harus bisa menghindari menipisnya simpanan bahan makanan dan persaingan dengan petani.

â??Anda perlu melihat dulu: apakah sudah cukup kentang untuk dimakan? Lalu, apakah kita tak akan bersaing dengan petani yang mendapatkan penghasilan dengan berjualan kentang?â? katanya. â??Maka, jika kentang untuk dimakan sudah tersedia, kentang untuk dijual sudah tersedia, lalu masih ada kentang yang tersisa, barulah penggunaan kentang untuk energi boleh dilakukan.â?

Lalu ada pula masala lain, yaitu persepsi konsumen mengenai kentang. Dibandingkan dengan teknologi modern seperti tenaga surya, kentang tampaknya masih kurang menarik sebagai sumber energi.

Gaurav Manchanda, pendiri One Degree Solar, yang menjual sistem tenaga surya mikro di Kenya, mengatakan bahwa orang membeli produknya dengan alasan lebih dari sekedar efisiensi dan harga. â??Mereka ini adalah konsumen utama. Mereka perlu untuk melihat nilai di dalamnya, tak hanya kemampuan kerjanya, tapi juga statusnya,â? ia menjelaskan. Pada dasarnya, orang tak berminat memamerkan baterai kentang mereka untuk membuat para tetangga kagum. Intinya, para konsumen merasa gengsi jika membeli kentang untuk sumber energi.

Tetap saja, tak bisa dipungkiri bahwa ide baterai kentang bisa berhasil, dan tampaknya murah. Para penganjur tenaga kentang, tak diragukan, akan terus menjalankannya. Semoga saja di masa depan sumber energi listrik dari kentang ini bisa banyak digunakan di seluruh dunia untuk menghemat pengeluaran listrik. (tom)

Written by Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

Pahlawan Nepal, Selamatkan 55 Anak Yatim dari Gempa

Foto-foto Viral yang Menggemparkan