Madinah: Kota Semua Agama

Ancaman paling serius bagi semua agama pada abad 21 bukanlah serangan kelompok ateis atau kelompok yang menganggap agama sebagai sesuatu yang nonsens. Melainkan, datang dari dalam agama itu sendiri. Apalagi kalau bukan kelompok fundamentalis: orang-orang yang menafsirkan ayat-ayat suci yang â??puitis dan metaforisâ? dalam kerangka kaku dan lebih merupakan pembenaran pandangan pribadi mereka.

Perlu dicatat bahwa fundamentalisme tidak lahir hanya dalam agama Islam. Anggapan ini muncul hanya karena pemberitaan berlebihan media massa Barat terhadap aktivitas teroris berkedok Islam, terutama pasca Tragedi 11 September 2001. Jika dilacak dalam sejarah, fundamentalisme muncul pertama kali pada orang-orang Protestan Amerika yang menentang pengajaran teori evolusi di sekolah. Kejadian ini dikenal sebagai Scopes Trial pada 1925.

Lalu, kalau disebut hanya agama samawi (Islam, Nasrani, dan Yahudi) yang melahirkan kaum fundamentalis, pendapat ini juga salah. Nyatanya, dalam agama Hindu dan Budha, juga muncul kaum yang sama. Misalnya, kelompok BPJ (Bharatiya Janata Party) yang merusak Masjid Babur pada Desember 1992. Artinya, diakui atau tidak, fundamentalisme adalah masalah pelik semua agama.

Cara paling mungkin untuk mengatasi penggerogotan agama dari dalam oleh umatnya sendiri adalah mencari contoh paling nyata dari kehidupan sebuah agama ketika seorang nabi hidup. Nabi di sini diartikan sebagai â??pembawa beritaâ?. Mengingat umat Islam adalah mayoritas penduduk Indonesia (sekitar 200 juta orang), kita bisa melihat Madinah pada masa Nabi Muhammad saw.

Madinah diterjemahkan sebagai â??kotaâ?. Maka, dikenal istilah Madinah Al-Munawarah (Kota Bercahaya). Dalam Madinah, dibangun sebuah komunitas sempurna yang hasilnya masyarakat madani (kita bisa melihat â??permainan kataâ? madinah dan madani di sini).

Pada masa Rasulullah, Madinah merupakan terobosan besar dalam sejarah Arabia. Saat itu, kesukuan mempunyai nilai suci. Tidak ada pikiran dalam otak para cendekiawan untuk lepas dari jeratan kesukuan untuk membentuk â??kelompokâ? yang lebih besar. Sebaliknya, Madinah adalah tempat berkumpulnya beberapa kelompok dari suku-suku dan agama berbeda. Karen Armstrong dalam buku Islam: The Short History menyebut bahwa Madinah adalah cerminan â??suku superâ? yang berhasil lepas dari hubungan darah dan diikat oleh persamaan ideologis yang sangat sederhana: perendahan diri sepenuhnya kepada Tuhan.

Di Madinah, tidak hanya umat Islam yang tinggal. Ada pula para pemuja berhala dan kaum Yahudi di sana. Perlu dicatat pula bahwa yang pertama kali dibangun Nabi Muhammad saw. di Madinah bukanlah sebuah rumah untuknya sebagai penguasa atau â??kantor pemerintahanâ? misalnya. Melainkan, sebuah masjid (artinya: tempat bersujud). Pendirian masjid ini menunjukkan â??kesederhanaanâ? pemikiran Nabi (dalam arti positif): ketika semua orang telah berserah diri pada Allah (yang dilambangkan dengan sujud), tidak akan ada lagi perang antarsuku atau penindasan terhadap suku lemah dan kaum wanita (yang cukup masif pada masa tersebut) Secara simpel: Bagaimana mungkin ada orang yang merasa dirinya lebih hebat daripada orang lain ketika nyatanya semua orang, entah itu kaya-miskin, tuan-budak, lelaki-perempuan, sederajat?

Pembelajaran kepada umat baru ini terbukti efektif. Meskipun ada pengkhianatan yang dilakukan oleh beberapa kelompok Yahudi dan para penyembah berhala yang tidak mengakui kenabian Rasulullah (plus berupaya menghancurkan Madinah dari dalam dengan bekerjasama dengan orang-orang Mekkah), Madinah dari tahun ke tahun menarik perhatian suku-suku Arabia. Umat Islam yang merupakan penduduk terbanyak di Madinah, berkewajiban melindungi kaum lain yang lebih lemah. Secara nyata, Madinah menunjukkan salah satu lompatan terbesar sepanjang sejarah: penghargaan terhadap wanita (lebih dari seribu tahun sebelum Eropa), perlindungan terhadap suku lemah (yang sekarang tidak terwujud dalam â??keadilan duniaâ? versi Amerika Serikat), dan persamaan derajat (yang sekarang tidak lagi dikenali oleh umat Islam sekalipun).

Satu hal yang perlu dicatat, ketika Nabi Muhammad saw. datang ke Mekkah dalam peristiwa Fathul-Makkah, beliau datang dengan 10.000 pasukan. Peristiwa ini dipicu oleh pengkhianatan orang-orang Mekkah atas Perjanjian dengan Nabi. Namun, apa yang terjadi? Tidak ada pertumpahan darah sama sekali dalam kejadian tersebut. Gerbang Mekkah dibuka dengan damai dan penduduk Mekkah (yang pada masa itu sangat wajar jika dibantai) tidak kehilangan sesuatu pun.

Pertanyaan layak ditujukan pada umat Islam Indonesia: Jika Nabi saja begitu sopan terhadap umat lain yang berada dalam kekuasaan beliau (yang pada masa itu, mungkin saja dihancurkan tanpa ampun), mengapa saat ini umat Islam tidak bisa melakukan hal serupa? Jika pada masa tersebut, tidak ada dikotomi antara kehidupan duniawi dan kehidupan agama, mengapa sekarang justru keadannya dibuat terpisah? Indonesia adalah lahan percontohan paling tepat di dunia. Dengan keberagaman suku, budaya, dan kepercayaan, negara ini ibarat Madinah besar yang mampu menampung semua keyakinan untuk berpadu: melepaskan semua atribut fanatisme sempit yang menyesatkan demi harmoni.

Written by Ardy Messi

Work in PR agency, Strategic Planner wannabe, a bikers, a cyclist, music and movie freak, Barca fans.

Agartha: Dunia Rahasia di Pusat Bumi

Kena PHK tak berarti kiamat