Menjadi sukses tak semudah membalikkan telapak tangan. Namun dengan berusaha, kesuksesan bisa diraih. Hal itulah yang bisa kita ambil dari sosok bernama Marina Kusumawardhani.
Namanya memang bisa dibilang belum dikenal oleh seluruh warga Indonesia, namun prestasinya di bisnis internasional bisa diacungi jempol. Lalu, bagaimana awal Marina bisa memulai bisnisnya?
Rupanya, hal ini terjadi 4 tahun lalu. Saat itu, perempuan asal Bandung, Jawa Barat, kelahiran tahun 1983 ini sedang berada di Kalkuta, India. Dia melihat seekor anjing liar terkapar dan nyaris sekarat tidak jauh dari rel kereta – tempat dia menunggu kereta yang akan membawanya ke kota kecil di dekat punggung pegunungan Himalaya.
“Saya langsung mencari air untuk dikasih ke anjing itu, soalnya dia haus banget,” seperti dikutip dari BBC, Senin (5/12/2016).

Saat memberikan minuman ke anjing tersebut, rupanya banyak orang yang melihatnya dan kemudian menangis. Orang-orang itu, ungkapnya, adalah gelandangan dan kaum miskin yang tinggal di emperan bangunan stasiun. “Bisa dibayangkan kehidupan macam apa yang mereka lalui, kalau mereka menangis melihat itu.”
Dari situ, timbul semacam kesadaran dalam diri Marina. Dia kemudian terus bertanya-tanya, dan gelisah, dihadapkan kenyataan bahwa di tengah kemajuan teknologi masih ada orang-orang yang miskin atau terbelakang.
Lulus dari Teknik Industri ITB Bandung, Marina meneruskan studi ke jenjang berikutnya di Universitas Teknik Wina, Austria. Di negeri itu, dia kemudian bersentuhan langsung dengan ide dan program pengentasan kemiskinan.
Selesai studi, Marina pun bergabung dalam sejumlah lembaga internasional yang peduli tentang masalah yang sama. Dia mempelajari dan mempraktekkan pendekatan alternatif penyelesaian persoalan kemiskinan di negara-negara terbelakang.
Pengalamannya menolong anjing sekarat di Kalkuta, lalu persentuhannya langsung orang-orang miskin di berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika, membuatnya bertekad untuk melakukan aksi nyata.
Tekadnya makin bulat setelah bertemu dengan peraih Nobel Perdamaian 2006, Muhammad Yunus, asal Bangladesh, yang dikenal melalui konsep Grameen Bank untuk kaum miskin. Bagi yang belum tahu, Muhammad Yunus telah mengembangkan konsep kredit mikro. Ini adalah pinjaman skala kecil untuk orang-orang yang tidak mampu meminjam uang dari bank umum. Yunus mengimplementasikan gagasan ini dengan mendirikan Grameen Bank.

Yunus kemudian menyarankan Marina agar berangkat ke Bangladesh untuk melakukan penelitian sekaligus mempraktekkan segala hal terkait tekadnya itu. Tanpa pikir panjang, Marina langsung mengiyakan saran Yunus itu. Setelah lulus S2, saya langsung ke Bangladesh dan riset di pedalaman-pedalaman, ke desa-desa tertinggal di Bangladesh, hidup di rumah-rumah warga di desa-desa.”
Selama itu pula, dia bersama sejumlah konsultan senior di PBB dan beberapa menteri Austria, dia mendirikan semacam lembaga pelatihan terkait social entrepreneurship bernama Generation Social.

Merasa bisnis sosial yang diketahuinya cocok diterapkan di Indonesia, Marina pun pulang ke Indonesia. Sesuai dengan keberpihakannya pada isu pengentasan kemiskinan dengan program social entrepreneur, Marina sempat menjadi tim sukses calon Presiden Joko Widodo dalam Pemilu presiden 2014.

Ketika pemilu berakhir, Marina yang hobi membaca ini kemudian bergabung dengan Asian Development Bank, ADB. Dia ditunjuk sebagai konsultan karena pengalamannya dalam bersentuhan dengan bisnis sosial atau social entrepreneur. Marina mengawalinya dengan menggelar latihan bagi anak-anak muda di dunia bisnis sosial.
“Bikin semacam start-up mengenai training dan konsultasi bisnis sosial, dan sampai sekarang jalan terus,” papar Marina.
Melalui Kementerian koordinator bidang perekonomian dan sejumlah pemerintah kota, Marina kini melakukan apa yang disebutnya sebagai advokasi mengenai bisnis sosial.
“Sederhananya, bisnis sosial itu adalah bisnis-bisnis yang memiliki dampak sosial. Dia harus sustainable (berkelanjutan), bisa menghidupi diri sendiri dan tidak tergantung pada sumbangan, kadang-kadang dia non profit, kadang-kadang profit (mencari keuntungan). Dia sebuah bisnis, tapi dampak sosialnya besar,” jelasnya ketika ditanyakan definisi umum bisnis sosial.

Ada pula yang menyebutnya sebagai bisnis inklusif, karena bisnis ini mengambil sebanyak mungkin orang-orang dari di bawah garis kemiskinan. Bisnis sosial seperti ini menurutnya sudah banyak dipraktekkan di Indonesia. “Contohnya, Gojek, dia bisnis, tetapi dampak sosialnya besar sekali, sampai ratusan ribu orang memiliki pekerjaan baru,” katanya memberi contoh.
Di sinilah, menurutnya, tujuan seperti itu sesuai dengan program pemerintah yang juga berusaha untuk mengentaskan kemiskinan.
“Jadi, yang saya lakukan di sini sebetulnya hanya menjembatani antara kedua ini, yaitu dunia bisnis yang ternyata dampak sosialnya besar dengan dunia pemerintahan yang sebetulnya memiliki tujuan sosial yang sama,” papar Marina.
Salah satu jalan yang dirintis Marina adalah menghubungkan antara pemerintah Kota Bandung, pengelola situs belanja online Tokopedia dengan pelaku usaha kecil menengah di kota tersebut, pada bulan Agustus lalu.
“Jadi Tokopedia itu membikin sebuah halaman khusus untuk kota Bandung, yang isinya adalah produk-produk kota Bandung dan terutama diutamakan produk kerajinan lokal dan produk UMKM yang mikro banget. Jadi semuanya bisa terangkat ke seluruh Indonesia,” jelasnya lebih lanjut.
Dalam waktu hampir bersamaan, Marina juga membantu Kemenko-perekomian untuk menghubungkan para petani, pengusaha kecil, komunitas lokal di sektor kehutanan serta kaum papa lainnya, dengan pemodal yang memiliki bisnis sosial. Caranya adalah dengan menggandeng situs online Limakilo yang selama ini menjual hasil pertanian melalui situs internet. Menurutnya, kerja sama ini dapat memotong rantai distribusi yang terlalu panjang dan merugikan petani.
Meski demikian, Marina Kusumawardhani mengakui apa yang dia kerjakan bersama pemerintah dan pelaku bisnis sosial barulah sebuah awalan.

“Tapi kita harapkan mungkin beberapa bulan ke depan, bisa eksponensial. Dan menurut kami yang lebih penting itu adalah mensecure (mengamankan) akses pasar di akhir ini. Jadi bagaimana caranya produk-produk yang lebih murah ini distribusinya sebesar mungkin,” paparnya.
“Tapi apakah sudah mencapai apa yang saya impikan, itu belum, dan tidak mungkin pernah (tercapai), karena sebaiknya ‘kan selalu memperbaiki diri, selalu belajar,” ungkapnya.
“Tidak puas dengan dampak sosial yang dicapai. Jadi, stay hungry stay foolish, karena untuk mencapai sesuatu (secara sempurna) itu tidak akan pernah terjadi. Akan selalu ada milestones baru. Kemudian, apa target berikutnya,” tandasnya. (tom)