Tunjukkan Gelar Akademik Boleh Saja JB’ers. Tapi Perhatikan Hal Ini Agar Personal Branding-mu Maksimal

Hutomo Dwi

Ilustrasi personal branding (Pixabay)

Belakangan, nama Dwi Hartanto lagi diperbincangkan. Hal ini dikarenakan dia kedapatan berbohong mengenai aneka prestasi yang dia raih. Informasi yang disampaikannya, kata Dwi, selama ini tidak akurat dan cenderung melebih-lebihkan, serta tidak melakukan koreksi, verifikasi, dan klarifikasi segera setelah informasi yang tidak benar itu meluas. Akibatnya, penghargaan KBRI atas dirinya pun dicabut. Nah, buat JB’ers, agar kejadian seperti ini tak terulang, maka kamu harus perhatikan hal-hal ini agar personal branding-mu maksimal dan nggak lebay.

1. Taruh gelar akademik pada tempatnya

Topi sarjana (Okezone)

Setelah lulus kuliah, biasanya seseorang akan mendapatkan gelar akademik sesuai dengan jurusan yang telah dia ambil, seperti misalnya SH untuk lulusan hukum, SS untuk lulusan sastra, atau SE untuk lulusan ekonomi. Gelar yang kamu dapatkan itu memang bisa kamu taruh di belakang namamu dalam kesempatan apapun, namun pastikan sesuai dengan tempatnya. Misalnya, jika kamu menjadi pengajar di kampus, maka gelar itu bisa kamu taruh. Gelar ini juga bisa kamu sematkan di akun LinkedIn kamu. Namun perlu diingat, penunjukkan gelar ini tak pantas atau tak etis jika di muka umum, seperti misalnya saat perkenalan kerja.

2. Jujur ceritakan latar belakang akademik

Topi wisuda (Pxhere)

Masih berkaitan dengan kasus Dwi Hartanto, yang melebih-lebihkan latar belakang akademiknya, sebaiknya kamu menceritakan latar belakang akademikmu secara jujur dan apa adanya. Jika kamu merupakan lulusan S1, maka jujurlah mengatakan kamu lulusan S1, begitu pula jika kamu hanya lulusan SMA atau bahkan S2. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya masalah seperti Dwi Hartanto di kemudian hari.

3. Jujur ceritakan pengalaman training/seminar

Pelatihan (Wikimedia)

Hal ini masih ada hubungannya dengan poin nomor 2. Selain jujur dalam menceritakan latar belakang akademik, kamu juga harus jujur dalam menceritakan pengalaman kamu ikut serta dalam training atau seminar. Jika memang kamu ternyata tak punya pengalaman training atau seminar, sebaiknya kamu jujur menceritakan kamu tak punya pengalaman training, jangan lalu mengarang bahwa kamu pernah ikut suatu training.

4. Jujur ceritakan pengalaman organisasi

Organisasi kampus (Respatinews)

Lagi, kamu juga harus jujur dalam menceritakan pengalaman organisasi kamu selama kuliah atau di luar kuliah, bisa dengan menyebutkan kamu ikut organisasi kampus, atau bisa juga kamu menyebutkan kamu pernah ikut dalam Karang Taruna di daerah rumah kamu. Jika tak ada, maka kamu jujur saja bahwa kamu tak pernah terlibat dalam suatu organisasi.

5. Buktikan pengalaman kamu dengan link artikel jika ada

Ilustrasi link (Pixabay)

Jika benar kamu memiliki pengalaman, baik itu untuk training atau organisasi, kamu bisa memberikan bukti berupa link artikel yang memuat foto atau nama kamu. Bisa juga berupa link artikel yang memuat project event yang melibatkan kamu sebagai salah satu penggagasnya. Namun dengan catatan, artikelnya harus asli dan bukan bikinan kamu sendiri. Jika tak ada artikel yang memuat nama atau foto kamu, jangan lalu kamu inisiatif membuat artikel sendiri yang isinya penuh dengan kebohongan.

Itulah 5 hal yang harus kamu perhatikan jika ingin personal branding-mu maksimal tanpa harus berbohong demi bisa mendapatkan nilai jual. Semoga JB’ers tak menjadi Dwi Hartanto berikutnya. (tom)

Bagikan:

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.