Film yang diangkat dari salah satu novel terlaris 2011, berjudul “9 Summers 10 Autumns”, telah rilis pada tahun 2013. Film tersebut mengangkat kisah nyata seorang anak sopir angkot yang sukses menjadi CEO di New York, AS. Dia adalah Iwan Setyawan.
Berangkat dari perjuangannya sebagai seorang anak sopir angkot di Kota Apel, Malang, Iwan bisa sukses menjadi Direktur di salah satu perusahaan multinasional dan berkantor di Kota Big Apple, New York. Kisah inspiratif Iwan ini dituangkan dalam novel berjudul “9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke Big Apple”.
Ungkapan ‘tak ada yang tak mungkin’, dan ‘usaha keras tak akan mengkhianati’ tampaknya memang benar adanya. Hal itu dapat dilihat dari apa yang dijalani Iwan Setyawan yang kini sudah jadi orang sukses. Ia lahir di Malang, 2 Desember 1974 di rumah berukuran 6 x 7 meter persegi. Hanya ada dua kamar dalam rumah itu sehingga ia harus berbagi ruang dengan bapak, ibu, serta empat saudara perempuannya. Ia tidur berpindah-pindah dari kamar orangtuanya ke kamar saudara-saudaranya ke ruang TV sampai tidur bersama kakek neneknya yang rumahnya bersebelahan dengan rumahnya.
Bapaknya seorang sopir angkot yang menempuh pendidikan sampai kelas 2 SMP dan ibunya seorang ibu rumah tangga. Karena itulah, mereka ingin anak-anaknya mendapat pendidikan yang lebih baik. Ibunya percaya bahwa pendidikan bisa mengubah hidup seseorang, prinsipnya, semua anaknya harus menempuh pendidikan minimal sampai universitas. Perjuangan ibunya juga menginspirasi Iwan untuk belajar lebih rajin dan jadi orang sukses.
Impian Iwan saat SMP sangat sederhana, yaitu ingin memiliki kamar sendiri yang kalau malam bisa ditutup pintunya lalu mengarungi dunia sendiri. Namun Iwan berpikir, meminta dibuatkan kamar sendiri adalah permintaan yang nggak masuk akal. Iwan menganggap dirinya tak punya hati jika minta dibikinkan kamar sendiri sedangkan keadaan keluarganya seperti itu. Impian ini dipendamnya sendiri. Ia lalu melanjutkan SMA di Batu, Malang.
Berkat kepandaiannya semasa SMA, Iwan mendapatkan tawaran untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB). Awalnya ia bimbang akan melanjutkan pendidikan. Apalagi kalau bukan biaya yang jadi masalahnya. Keluarganya juga masih punya tanggungan dua adik perempuannya. Sang Ibu lalu meyakinkan Iwan agar tetap kuliah bagaimanapun caranya.
Sang Ayah lalu menjual satu-satunya angkot yang merupakan harta berharga keluarga itu dan beralih profesi menjadi sopir truk. Iwan pun berhasil masuk jurusan Statistika IPB. Tahun pertama dan kedua kuliah, Iwan kesulitan. Kepandaiannya di SMA asalnya di Batu tak ada apa-apanya dibandingkan teman-temannya yang anak olimpiade.
Namun, berkat usaha Iwan yang terus belajar tanpa kenal lelah, Iwan akhirnya berhasil lulus dari Statistika ITB setelah kuliah 4 tahun dengan predikat lulusan terbaik pada angkatannya tahun 1997. Ia lalu bekerja di Nielsen dan Danareksa Research Institute Jakarta selama 3 tahun sebelum akhirnya ditawari untuk bekerja di New York masih pada bidang yang sama. Karirnya mulai menanjak ketika ia menduduki posisi Senior Manager Operations. Ia bahkan mencapai posisi Director Internal Client Management Data Analysis and Consulting Nielsen Consumer Research New York.
Setelah 10 tahun meniti karir di negeri orang sampai mencapai posisi yang gemilang, Iwan Setyawan memutuskan untuk pulang kampung. Tentu saja keputusannya dianggap gila oleh banyak orang. Sudah hidup enak, di Amerika pula, ngapain pulang ke Malang? Jawabannya sederhana saja, “Saya ingin membangun kamar sendiri di rumah, di Malang.”
Dari kisah Iwan Setyawan yang orang biasa bisa sesukses itu kita bisa belajar dua hal: pertama, jalan menuju kesuksesan memang tak mudah dan penuh tantangan, oleh karena itu kita harus selalu berjuang bagaimanapun halangan merintang di hadapan kita. Kedua, kekurangan bukan alasan untuk menyerah. Dari keinginan sederhana, bisa jadi impian yang mewujud nyata bahkan lebih besar dari keinginanmu sebenarnya. Semoga kisah Iwan ini bisa menginspirasi JB’ers semua. (tom)