Mengenal Pulau Paskah, Tempat Ratusan Batu Purba Penuh Misteri Ditemukan

Ardy Messi

Tahukah kamu kalo ada sebuah pulau di sebelah selatan Samudera Pasifik yang bernama Pulau Paskah. Luasnya sekitar 64 mil persegi di Samudera Pasifik Selatan dan jaraknya sekitar 2.300 mil dari pantai barat Chile dan 2.500 mil di timur Tahiti.

Nama aslinya Rapa Nui, tapi kalo belanda menyebutnya Paaseiland alias Kepulauan Paskah saat mereka nyampe di sana tahun 1722. Nah, sekarang Kepulauan Paskah jadi bagian dari Chile dan perekonomiannya mayoritas dari pariwisata.

Yang bikin Kepulauan Paskah terkenal banget adalah patung-patung batu raksasanya yang jumlahnya hampir 900, guys!. Patung-patung itu tuh karya tangan para ahli pengrajin dan insinyur dari berabad-abad yang lalu. Patung-patung itu beda banget sama patung batu lainnya dari budaya Polinesia. Dan, tentunya ada banyak spekulasi tentang tujuan pasti dari patung-patung itu, peran yang dimainkan dalam peradaban kuno Kepulauan Paskah, serta cara pembuatan dan transportasinya.

Batu Rapa Nui di Pulau Paskah (Foto: Instagram @kialchurch)

Sejarah Singkat

Menurut sejarah, penduduk pertama Kepulauan Paskah (nama aslinya dalam bahasa Polinesia; namanya dalam bahasa Spanyol adalah Isla de Pascua) diperkirakan datang dalam sebuah kelompok imigran yang terorganisir. Arkeologi mendata kedatangan mereka antara tahun 700-800 M, sementara ahli bahasa memperkirakan sekitar tahun 400. Tradisi menyebutkan bahwa raja pertama Rapa Nui adalah Hoto-Matua, seorang penguasa dari subkelompok Polinesia (mungkin dari Kepulauan Marquesa) yang perahu nya berlayar ribuan mil sebelum mendarat di Anakena, salah satu pantai berpasir di sepanjang pantai berbatu pulau ini.

Bukti terbesar tentang kebudayaan kaya yang dikembangkan oleh penduduk asli Rapa Nui dan keturunan mereka adalah adanya hampir 900 patung batu raksasa yang ditemukan di berbagai tempat di pulau itu. Rata-rata setinggi 13 kaki (4 meter) dan beratnya mencapai 13 ton, patung batu raksasa ini – yang dikenal sebagai moai – diukir dari tuff (batuan ringan dan berpori yang terbentuk dari abu vulkanik yang terkonsolidasi) dan ditempatkan di atas platform batu seremonial yang disebut ahus. Sampai sekarang masih belum diketahui dengan pasti mengapa patung-patung ini dibuat dalam jumlah dan skala yang sedemikian besar, atau bagaimana mereka dipindahkan di sekitar pulau.

Batu Rapa Nui di Pulau Paskah (Foto: Instagram @kialchurch)

Perkembangan Budaya

Ekskavasi arkeologi di Kepulauan Paskah mengungkapkan tiga fase budaya yang berbeda: periode awal (700-850 M), periode pertengahan (1050-1680), dan periode akhir (setelah 1680). Antara periode awal dan pertengahan, bukti menunjukkan bahwa banyak patung awal sengaja dihancurkan dan dibangun kembali menjadi moai yang lebih besar dan lebih berat, yang menjadi ciri khas pulau ini.

Selama periode pertengahan, ahus juga berisi ruang pemakaman, dan gambar yang digambarkan oleh moai diyakini mewakili tokoh penting yang dijadikan dewa setelah mati. Patung terbesar yang ditemukan dari periode pertengahan memiliki tinggi sekitar 32 kaki dan terdiri dari satu blok dengan berat sekitar 82 ton (74.500 kilogram).

Periode akhir dari peradaban pulau ini ditandai oleh perang saudara dan kehancuran umum; lebih banyak patung yang tumbang, dan banyak mataa, atau ujung tombak obsidian, ditemukan dari periode itu.

Tradisi pulau mengklaim bahwa sekitar tahun 1680, setelah hidup berdampingan dengan damai selama bertahun-tahun, salah satu dari dua kelompok utama di pulau, yang dikenal sebagai Telinga Pendek, memberontak melawan Telinga Panjang, membakar banyak dari mereka sampai mati di atas tiang kayu di sepanjang parit kuno di Poike, di pantai timur laut pulau.

BACA JUGA: Laguna Buatan Manusia Terbesar di Dunia Ada di Chile

Penjelajahan orang-orang Eropa

Orang Eropa pertama yang diketahui mengunjungi Kepulauan Paskah adalah penjelajah Belanda Jacob Roggeveen, yang tiba pada tahun 1722. Belanda memberi nama pulau itu Paaseiland (Pulau Paskah) untuk memperingati hari mereka tiba. Pada tahun 1770, wakil raja Spanyol dari Peru mengirim ekspedisi ke pulau itu; para penjelajah menghabiskan empat hari di darat dan memperkirakan populasi penduduk asli sekitar 3.000 orang. Hanya empat tahun kemudian, navigator Inggris Sir James Cook tiba dan menemukan populasi Kepulauan Paskah terpangkas karena apa yang tampaknya perang saudara, dengan hanya 600 hingga 700 pria dan kurang dari 30 wanita yang tersisa.

Navigator Prancis, Jean-Francois de Galaup, comte de La Perouse, menemukan 2.000 orang di pulau itu ketika ia tiba pada tahun 1786. Pada tahun 1862, terjadi serangan perbudakan besar-besaran dari Peru, yang kemudian diikuti oleh wabah cacar, mengurangi populasi hanya menjadi 111 orang pada tahun 1877. Pada saat itu, para misionaris Katolik telah menetap di Kepulauan Paskah dan mulai mengkonversi penduduk ke agama Kristen, sebuah proses yang selesai pada akhir abad ke-19. Pada tahun 1888, Chile mengannex Kepulauan Paskah, menyewakan sebagian besar tanah untuk pengembalaan domba. Pemerintah Chile menunjuk seorang gubernur sipil untuk Kepulauan Paskah pada tahun 1965, dan penduduk pulau menjadi warga negara Chile yang penuh.

Batu Rapa Nui di Pulau Paskah (Foto: Instagram @kialchurch)

Pulau Paskah hari ini

Kepulauan Paskah itu bentuknya segitiga terisolasi dengan ukuran 14 mil panjang dan 7 mil lebarnya, guys! Kepulauan ini terbentuk dari serangkaian letusan gunung berapi. Selain terdiri dari pegunungan yang bergelombang, pulau ini juga memiliki banyak gua bawah tanah dengan lorong yang menjorok ke dalam gunung batuan vulkanik. Gunung berapi terbesar di pulau ini dikenal dengan nama Rano Kao, dan titik tertingginya adalah Gunung Terevaka, yang mencapai ketinggian 1.665 kaki (507,5m) di atas permukaan laut. Kepulauan Paskah memiliki iklim subtropis (cerah dan kering) dan cuaca yang sedang.

Kepulauan Paskah memang ga punya pelabuhan alami, tapi kapal bisa bersandar di Hanga Roa di pantai barat; desa terbesar di pulau ini, dengan populasi sekitar 3.300 orang. Pada tahun 1995, UNESCO menobatkan Kepulauan Paskah sebagai situs Warisan Dunia. Sekarang pulau ini menjadi rumah bagi populasi campuran, mayoritas keturunan Polinesia dan terdiri dari keturunan Telinga Panjang dan Telinga Pendek. Bahasa Spanyol umumnya digunakan, dan pulau ini telah mengembangkan perekonomiannya yang didasarkan pada pariwisata.

BACA JUGA: Meski Peninggalannya Indah, 5 Peradaban Dunia Ini Belum Terpecahkan Hingga Kini

Ardy Messi

Work in PR agency, Strategic Planner wannabe, a bikers, a cyclist, music and movie freak, Barca fans.