Terkait pembuatan film The Act of Killing, yang mengangkat kembali peristiwa pembunuhan massal dan impunitas di Indonesia pada 1965, Jay Subiyakto menuturkan, sebenarnya orang-orang Indonesia tak perlu marah oleh sutradara asal Denmark, Joshua Oppenheimer
Tapi, Jay mengaku kecewa karena film tersebut, yang dinilainya bersifat terlalu subyektif, bisa masuk nominasi Film Dokumenter Terbaik versi Academy Awards 2014 atau yang ke-86.
“Sayang, kalau akhirnya yang dapat penghargaan dia (Oppenheimer), dengan versinya dia, sementara kita marah-marah, padahal peristiwa itu memang terjadi. Kita seperti anak kecil, kalau diambil mainannya, baru ribut,” kata Jay, seperti dikutip Kompas, Rabu (26/2/2014).
Dalam film itu, Oppenheimer menghadirkan Anwar Congo, komandan pasukan yang pada 1965 bertugas membantai satu juta orang di Indonesia yang dituduh komunis. Anwar dikenal keji karena membantai dengan cara mencekik leher korban dengan seutas kawat.
“Saya kira, kita kadang kalau dikritik orang asing enggak terima. Ini kan kejadian benar, tapi kita sendiri seperti menutupi. Anwar Congo ini kan memang algojo, tukang jagal yang masih hidup. Ini kan bangsa kita sendiri, yang menyebabkan jutaan orang mati di 1965. Ini memang keburukan bangsa kita dan itu benar terjadi,” imbuh Jay.
“Lain misalnya (film) Schindler’s List. Itu kan pembantaian yang gila-gilaan, tapi Jerman-nya enggak marah karena memang seperti itu kejadiannya. Di luar negeri, pembunuhan oleh Nazi itu enggak ditutupi, malah mereka kasih tahu siapa yang bertanggung jawab,” lanjutnya.
Menurut Jay, dengan The Act of Killing bisa masuk nominasi Oscar 2014, itu sama saja dengan memberi tamparan keras bagi orang-orang Indonesia, karena Oppenheimer terlalu subyektif, menyajikan kisah dari sudut pandang satu pihak saja.
“Padahal, film itu bentuknya jelek banget. Yang dibikin orang itu (Oppenheimer) jelek banget, malah seperti dibikin karikatur. Memang kita itu dipermalukan, ‘Ini lho, orang Indonesia begini lho,’ dan mereka mau dibikin kembali dengan adegan karikatural dan sangat jelek. Ini istilahnya hanya pengulangan, tapi yang versinya dia, hanya mencari yang jeleknya saja,” paparnya.
Lebih lanjut Jay mengatakan, lantaran The Act of Killing terlalu subyektif, para sutradara Indonesia harus mendapatkan kesempatan untuk memproduksi film tandingan. “Kalau saya bilang, fakta itu harus didokumentasikan sendiri oleh negaranya, biar enggak salah paham. Setiap negara punya sejarah buruknya,” tuturnya.
“Mestinya kita yang buat. Ini salah satu genosida yang terbesar, ya. Harus ada ahli sejarahnya, ada saksinya. Kenapa ini enggak kita counter dengan yang sebenarnya, enggak seperti yang (versi) Oppenheimer, yang sangat karikatural. Ya itu, The Act of Killing itu ada (diproduksi sutradara asing) karena kita (sineas Indonesia) dilarang,” tutup Jay. (nha)