Kerak telor memang bukan nama makanan yang sama terkenalnya seperti nasi goreng, pecel, atau soto ayam. Makanan satu ini dahulu pernah menjadi makanan khas bagi rakyat Betawi. Namun seiring dengan berkembangnya jaman dan beredarnya banyak makanan dari luar negeri yang masuk ibukota, maka kerak telor seperti tersisihkan oleh jaman dan membuat pedagangnya jadi sama langka dengan panganannya.
Tapi dengan makin meriahnya Pekan Raya Jakarta beberapa tahun belakangan ini, kerak telor perlahan-lahan mulai timbul lagi ke permukaan. Kerak telor secara tak langsung menemukan kejayaannya kembali lewat PRJ yang kian meriah tiap tahunnya. Dari sana masyarakat mulai melirik makanan tersebut sekaligus menjadikannya sebagai peluang usaha baru. Karena itu juga lah pedagang kerak telor sekarang bisa dijumpai di beberapa tempat di Jakarta, tak hanya di PRJ.
Makanan satu ini pun sudah jalan-jalan keluar negeri. Rasanya yang terkenal gurih sudah sampai ke Malaysia dan Singapura. Pelanggannya pun beragam, baik turis, penduduk setempat, ataupun warga Indonesia yang sedang berada di sana. Salah satu daya tarik kerak telor memang terdapat di cara pembuatannya. telornya yang dicampurkan dengan bahan utama beras ketan bisa menempel dan berkerak diatas penggorengan, dan tidak jatuh walau penggorengan dibalik dan telor dibakar secara langsung. Kebanyakan orang pun mengatakan tidak puas jika membeli kerak telor tanpa melihat cara pembuatannya.
Meskipun belum setenar makanan khas betawi lainnya seperti gado-gado, namun kerak telor kini sudah mendapatkan ketenarannya kembali dan pedagangnya pun sudah banyak ditemukan. Tapi anehnya, walaupun kerak telor makanan khas betawi tapi pedagang yang berjualan justru kebanyakan orang Sunda. Mereka mengaku bahwa kerak telor memang peluang usaha yang bagus dan hal ini kebanyakan dilirik oleh orang Sunda yang merantau ke Jakarta. Hm, apa mungkin karena sebagian besar orang Jakarta sudah banyak yang berubah menjadi orang kantoran? Mungkin saja.
Tapi anehnya, walaupun kerak telor makanan khas betawi tapi pedagang yang berjualan justru kebanyakan orang Sunda.
Beda nasib kerak telor, beda juga nasib ondel-ondel, meski keduanya sama-sama warisan budaya masyarakat Betawi. Ondel-ondel yang merupakan boneka besar setinggi kurang lebih 2 meter ini merupakan pencitraan leluhur dan nenek moyang yang dipercaya dapat melindungi penduduk sekaligus sebagai penolak bala. Ondel-ondel dibuat dari batang bambu yang dirakit menjadi kerangka raksasa dan diberikan ruang di tengahnya agar dapat dipakai dan ditarikan langsung oleh manusia. Selain tubuhnya yang besar, ciri paling khas dari ondel-ondel adalah topengnya. Warna cat untuk topeng boneka pria adalah merah dan untuk yang wanita berwarna putih. Rambutnya pun sering dipenuhi dengan berbagai hiasan ijuk atau kertas warna-warni untuk pemeriah.

Awalnya, ondel-ondel memiliki sisi magis yang kental. Misalnya, penari ondel-ondel yang harus memberikan sesajen kopi, rokok, atau air kelapa kepada si boneka raksasa sebelum memulai arak-arakan. Kalau tidak dituruti, maka fungsi ondel-ondel pun tak akan maksimal. Namun itu dulu. Sekarang ondel-ondel sudah jarang mendapat perhatian klenik semacam itu karena sekarang fungsinya lebih banyak sebagai pemeriah pesta. Tapi keberadaan ondel-ondel sendiri bahkan sudah makin tenggelam.
Jika biasanya ondel-ondel sering diundang ke berbagai peresmian tempat-tempat baru dan perayaan pesta di Jakarta, maka pemandangan itu sudah sangat jarang terlihat sejak era milenium. Peresmian gedung lebih banyak menggunakan jasa konser band, begitu pula dengan perayaan pesta, banyak menggunakan penyanyi modern atau modern dance. Dengan makin sedikitnya ondel-ondel yang dibutuhkan,maka banyak juga penyewaan ondel-ondel yang terpaksa harus menjual ondel-ondel mereka yang sudah tidak laku dan gulung tikar. Begitu pula dengan pembuatnya. Makin lama makin langka ditemukan di kota Jakarta.
Misalnya saja Pak Asmawi, beliau sudah menggeluti pekerjaannya sebagai pembuat ondel-ondel sejak tahun 1942, dan dirinya menyadari bahwa pekerjaan ini sedang menuju ke kematian. Ondel-ondel pesanannya pun makin lama makin menurun hingga dirinya terpaksa harus menjadikan ondel-ondel sebagai pekerjaan sampingan agar bisa tetap bertahan hidup. Padahal Pak Asmawi adalah satu-satunya pembuat ondel-onel yang masih tersisa di kota Jakarta menurut Dinas Kebuayaan Jakarta. Ia mempunyai tekad untuk melestarikan ondel-ondel sampai selama mungkin. Ia bahkan sudah menurunkan ilmunya ke anak cucunya, namun belum membuahkan hasil yang spesifik hingga dirinya belum mau meninggalkan pekerjaan sebagai pembuat ondel-ondel.
Kejamnya modernisasi di ibukota tidak memberikan kesempatan bagi ondel-ondel untuk terpajang di berbagai daerah di Jakarta lagi. Mirisnya lagi, jika kita ingin melihat ondel-ondel kita bisa menemukannya dari pengamen yang menggunakan ondel-ondel sebagai media peminta sumbangan. Padahal jika generasi betawi muda mau melestarikan kembali ondel-ondel, maka tidak mustahil maskot Jakarta ini akan bertahan seperti halnya kerak telor yang sedang menjadi bisnis manis di ibukota.(jow)