STORY: Kakek Rasmito, Tuna Netra Pemanjat Pohon Kelapa

Hutomo Dwi

Walaupun kedua matanya buta, namun Kakek Rasmito atau Kek Rasmito (57 tahun) tidak berputus asa. Untuk menyambung hidup dan memenuhi kebutuhan keluarganya, pria yang tinggal di Desa Ciparepare Timur, Kecamatan Sultan Daulat, Kota Subulussalam ini, sehari-hari melakoni pekerjaan memanjat kelapa.

Kondisi fisik dan kedua matanya yang buta, tentu membuat pekerjaan memanjat pohon kelapa yang dia lakukan itu menjadi suatu yang penuh resiko. “Tapi harus tetap bekerja, kalau tidak bagaimana saya harus memenuhi kebutuhan hidup keluarga,” kata Kek Rasmito di rumahnya, seperti dilansir dari Serambinews, Jumat (28/11/2014).

Suami Lijah (52) yang sudah memiliki tiga cucu dan tinggal di rumah eks transmigrasi ini, dengan kondisi kebutaan setiap minggu harus memanjat pohon kelapa dan pinang. Dari hasil memanjat itulah yang dibawa pulang ke rumah untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Rasmito sudah 18 tahun bermukim di Ciparepare Timur, Kecamatan Sultan Daulat Kota Subulussalam. Kerasnya hidup di Jawa, membuat pria beranak tiga ini mengadu nasib ke Aceh.

Ketika masih di Jawa, Rasmito bekerja sebagai penjual kayu bakar. Setiap hari dia harus memikul kayu bakar untuk dijual seharga Rp 1.000 dan itu tidak sebanding dengan jerih payahnya. Tahun 1994, Rasmito pun memboyong istri dan tiga anaknya untuk mengadu nasip ke Aceh. Mereka bermukim di Desa Ciparepare yang dulunya permukiman transmigrasi. Di kawasan itu Rasmito mendapat sebidang tanah yang saat ini dijadikan lahan usaha dengan menanam enam pohon kelapa dan sekitar 20 pohon pinang.

Semua pekerjaan itu dilakukan meskipun dia sama sekali tak bisa melihat. Untuk bertahan dan bisa terus menyambung hidup, Rasmito juga menerima tawaran membabat di kebun warga. Namun saat ini kondisi fisiknya yang makin melemah, sehingga pekerjaan membabat rumput sudah tidak bisa dijalani. Satu-satunya lahan pekerjaan hanya dari hasil pohon kelapa dan pinang yang ada di pekarangan rumahnya. Begitu pun Rasmito mengaku masih memanjat sendiri untuk memetik buah kelapa dan pinang miliknya. Pekerjaan memanjat bukan lagi yang menakutkan bagi Rasmito meski kedua matanya tak bisa melihat. Pekerjaan itu ia lakoni selama puluhan tahun.

Dengan cara meraba, Rasmito bisa mengetahui jenis kelapa tua atau muda. Begitu pula dengan pinang. “Kalau kelapa yang tua di bagian ujung dan pinang paling bawah, itu saja tandanya. Kemarin saya petik lima puluh butir, dijual seharga seribu per butir jadi dapat lima puluh ribu, bayar listrik Rp 40.000, jadi sisanya buat belanja,” tutur Kek Rasmito. Kepiawaiannya memanjat kelapa atau memotong rumput layaknya orang normal, membuat salut warga sekitar.

Dia mengaku ingin memiliki usaha lain yang tidak berisiko, seperti  ternak kambing. Namun dia tidak memiliki modal. Jangankan modal usaha, untuk memperbaiki gubuk mereka yang beberapa waktu lalu hampir rubuh akibat tanahnya longsor, sampai saat ini tidak ada uang. Gubuk berlantai tanah merah itu dibangun atas bantuan warga. Namun kondisinya makin reyot akibat tergerus usia. Hanya satu lemari tua yang menjadi tempat sang kakek dan nenek menyimpan sedikit dari pakaian mereka. Namun Rasmito tidak akan mengemis, karena itu membuat harga dirinya menjadi hina. Dan kondisi fisiknya yang semakin renta dengan kebutaan kedua matanya, tidak pernah membuat Rasmito menyerah apalagi mengeluh pada keadaan. Dia terus bekerja untuk melanjutkan hidup. (tom)

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.