Nasruddin Hoja: Rahasia di Balik Guyonan

Seorang guru spiritual, OSHO, pernah berkata bahwa guyonan, pada zaman dahulu, mampu mengantarkan pengetahuan spiritual. Namun, sayangnya, seiring perjalanan waktu dan kemalasan manusia modern untuk menggali nilai-nilai tradisional, guyonan tersebut kehilangan pengetahuan spiritualnya. Bahkan, guyonan tadi malah bisa disalahartikan.

Jika kita termasuk orang-orang yang skeptis dengan ucapan OSHO, kita bisa melihat contoh guyonan yang sudah merosot nilainya berikut ini.

Kisah Pemabuk dan Lampu Kota

Ada seorang pemabuk yang sibuk mencari sesuatu di bawah lampu kota. Seorang pria waras paruh baya mendekatinya sambil bertanya, â??Kawan, apa yang tengah kaulakukan?â?

â??Mencari uangku,â? kata sang pemabuk.

Menyaksikan bahwa uang tersebut tak segera ditemukan, si pria waras berdecak dan berkata, â??Dari tadi kau terus mencari, tapi hasilnya nihil. Baiklah, aku akan membantumu. Ngomong-ngomong, di mana kau menjatuhkannya?â?

Si pemabuk menjawab, â??Di sana, di dekat selokan.â?

Tentu saja si pria waras geram dan berkata, â??Kalau kau tahu uangmu jatuh di sana, kenapa kau mencarinya di sini? Seumur hidup kau takkan menemukannya!â?

Si pemabuk menjawab ketus, â??Bodoh! Kau tidak melihat bahwa tempat ini lebih terang sedangkan tempat itu begitu gelap? Bagaimana pun lebih mudah mencari sebuah benda di bawah cahaya!â?

Pandangan Umum

Secara umum, kita akan menertawai perilaku Si Pemabuk yang memilih mencari uangnya di tempat yang lebih terang hanya karena lebih mudah mencari sebuah benda di bawah cahaya daripada di tengah gelap. Si Pemabuk ini, karena kemabukannya, hanya menggunakan sebuah logika dan tidak membandingkan logika lain yang lebih hakiki: mencari sebuah benda tentu setidaknya memperkirakan di mana letak jatuhnya.

Namun, mungkin kita setengah tidak percaya jika guyonan ini sudah melintas zaman dan kehilangan makna utamanya. Guyonan ini awalnya terdapat dalam serangkaian guyonan Nasruddin Hoja.

Ya, Nasrudin Hoja yang memiliki puluhan nama lain di berbagai wilayah, termasuk nama Afanti di Cina, sebenarnya merupakan tokoh fiktif yang dibuat sekitar abad 12 hingga 14 M. Nasrudin ini digunakan para sufi untuk memberikan ajaran tentang pencarian Tuhan. Bahkan, guyonan di atas, dalam konteks guyonan Nasrudin, justru dipakai untuk menyindir dua perilaku dalam kisah tersebut, yaitu perilaku Si Pemabuk dan Si Waras.

Sindiran untuk Si Pemabuk

Dalam konteks sindiran untuk Si Pemabuk ini, kisah di atas sebenarnya mengkritik kebiasaan manusia untuk mencari hal-hal spiritual (dilambangkan sebagai uang yang sangat berharga bagi manusia) dari tempat yang seolah-olah â??pastiâ? menyampaikan spiritualitas tersebut (dilambangkan dengan cahaya lampu yang dalam kondisi tersebut sangat berharga demi mencari uang tersebut).

Misalnya, orang yang memiliki kekuatan mistis, mampu melihat â??hantuâ?, atau bahkan mampu menciptakan keajaiban demi keajaiban, belum tentu ia dekat dengan Tuhan Yang Satu. Orang yang dekat dengan Tuhan Yang Satu tidak mesti melulu â??bersihâ? dari derita dunia. Beberapa nabi Bani Israel mengalami penyiksaan, bahkan pembunuhan oleh umat mereka. Namun, mereka tetap dicintai Tuhan. Sebaliknya, banyak penguasa yang dicintai rakyatnya, tetapi belum tentu ia mendapatkan nilai yang sama di depan Tuhan.

Sindiran untuk Si Waras

Di sisi lain, Si Waras dalam guyonan di atas juga dikritik karena ia menggunakan logika untuk semua hal. Si Pemabuk memang â??salahâ? atau berada di luar peraturan logika umum karena mencari hanay di tempat yang terang. Namun, tempat terang, cahaya lampu, atau cahaya pada umumnya melambangkan sifat manusia yang tercerahkan oleh Tuhan Yang Satu. Ia mungkin kehilangan sesuatu yang berharga dalam kegelapan sebagai lambang keadaan yang jauh dari Tuhan Yang Satu. Namun, orang yang sudah tercerahkan, hendak dihancurkan dengan cara bagaimana pun oleh mereka yang hanya menggunakan logika (dilambangkan oleh Si Waras), akan senantiasa tegar dan meyakini bahwa sesuatu yang lebih berharga akan muncul kala ia tercerahkan; bukan saat ia berada dalam kegelapan.

Kisah guyonan Nasrudin yang mengalami pergeseran sehingga sekarang hanya menjadi guyonan tingkat rendah ini, menunjukkan adanya keterputusan transmisi pengetahuan dari manusia era tradisional ke masa modern. Dari sudut pandang ini, tentu kita bisa berkata, tidak semua modernisasi menghasilkan kebaikan. Barangkali modernisasi memang memberikan hal-hal baik berkaitan dengan fisik dan keinginan manusia. Misalnya, daya tahan terhadap kematian. Manusia modern tentu tidak mungkin ketakutan pada serangan beruang sehingga tak berani menyebut nama binatang tersebut (konon kata Bear berasal dari istilah Si Coklat yang menunjukkan kengerian manusia masa lalu terhadap binatang ini). Namun, di sisi lain, modernisasi segala hal membuat manusia kehilangan pengetahuan tentang diri mereka sendiri: Ruh dan â??Tuhanâ?.

Written by Ardy Messi

Work in PR agency, Strategic Planner wannabe, a bikers, a cyclist, music and movie freak, Barca fans.

Bahasa Indonesia Go Internasional?

Pahlawan Indonesia Yang Juga Diklaim Sebagai Pahlawan Malaysia