Sepatu berhak tinggi atau high heels menjadi simbol tampilan feminin sekaligus glamor kaum hawa. High heels terus digunakan hingga saat ini, pemakainya bahkan rela “menyiksa” kaki demi tampil menjulang indah, terkadang dengan ketinggian hak yang tak masuk akal.
Meski para wanita terlihat santai mengenakannya, aslinya high heels sangat sulit dipakai. Tantangannya berat. Tak nyaman dipakai di tanjakan juga untuk mengemudi. Pemakainya disarankan menjauhi rerumputan, es, jalanan, juga di lantai kayu nan mewah. Salah-salah bisa terperosok.
Tahukah kamu, kalau sepasang sepatu hak tinggi ternyata pernah menjadi aksesori penting bagi pria di masa lalu? Tak seperti sepatu hak tinggi saat ini yang seolah tak dirancang untuk dipakai berjalan, dulu, sepatu hak tinggi punya kegunaan praktis.
“Sepatu berhak dipakai selama berabad-abad di Timur Dekat (daerah sekitar timur Mediterania) sebagai alas kaki saat berkuda,” kata Elizabeth Semmelhack, dari Museum Sepatu Bata, Toronto, Kanada, sebagaimana dilansir dari BBC, Selasa (13/1/2015).
Di akhir abad ke-16, Raja Persia, Syah Abbas memiliki pasukan kavaleri terbesar di dunia. Ia tertarik untuk menjalin hubungan dengan penguasa di Eropa Barat. Untuk membantunya mengalahkan musuh besar: Kekaisaran Ottoman (Turki). Jadi pada tahun 1599, ia mengirimkan misi diplomatik ke Eropa, ke Rusia, Jerman, dan Spanyol.
Sejak saat itulah “demam” Persia berlangsung di Negara Barat. Termasuk soal gaya. Para aristokrat yang latah saat itu merasa, sepasang sepatu berhak bisa meningkatkan penampilan mereka. Lebih maskulin dan jantan.
Saat sepatu berhak mulai dipakai kalangan bawah, para bangsawan itu tak mau kalah. Mereka kemudian mempertinggi hak sepatu mereka, maka lahirlah high heels.
Di jalanan berlumpur Eropa di abad ke-17, sepatu model baru itu jelas tak punya fungsi praktis. Tapi justru di situlah poinnya.
“Salah satu cara merefleksikan status sosial adalah melalui hal-hal yang tak praktis,” kata Semmelhack, menambahkan kalangan atas seringkali memakai pakaian rumit, tak nyaman, tapi mewah untuk mengumumkan status sosialnya. “Itu berarti mereka tidak harus ke ladang untuk bekerja, dan tak perlu berjalan jauh.”
Meski orang Eopa menambahkan sepatu berhak agar penampilan mereka lebih macho, belakangan justru
perempuan yang tergila-gila memakainya. Saat itu di tahun 1630-an, perempuan mengadopsi gaya pakaian laki-laki, memotong rambut mereka, dan menambahkan hiasan pangkat pada pakaian.
Sejak saat itu, hingga akhir abad ke-17, sepatu berhak menjadi mode sepatu uniseks. “Anda mulai melihat perubahan di bagian haknya” kata Helen Persson, seorang kurator di Museum Victoria and Albert di London. “Hak sepatu pria lebih kuat, rendah. Sementara tumit sepatu perempuan menjadi lebih ramping.”
Sepatu hak tinggi untuk pria mulai dipandang konyol. Pada tahun 1740 sudah tak ada lagi pria yang memakainya. Namun hingga saat ini, kaum wanita masih mengenakan sepatu hak tinggi alias high heels, yang tadinya merupakan aksesoris bagi kaum pria. (tom)