Banjir Jakarta Sejak Zaman Kerajaan Tarumanegara

Ardy Messi

Setiap tahunnya, setiap musim hujan penduduk Jakarta pasti sudah tak asing dengan kehadiran banjir di mana-mana. Sampai saat ini belum ditemukan cara yang tepat untuk mengatasi banjir di ibukota sehingga mau tak mau masyarakat Jakarta harus terbiasa menghadapi banjir tiap tahun. Nah, sebenarnya sejak kapan ya Jakarta dihantui kebanjiran?

Ternyata, bencana banjir di kota ini sudah terjadi sejak jaman dahulu yaitu pada saat Kerajaan Tarumanegara masih berkuasa. Prasasti peninggalan kerajaan tersebut, Prasasti Tugu bahkan telah mencatat tentang banjir di wilayah yang sekarang menjadi ibukota serta penanggulannya di abad ke lima Masehi.

Walaupun sering kebanjiran dan juga memiliki banyak rawa, ternyata kota ini tetap memiliki daya tarik yang besar terutama bagi pendatang-pendatang asing terutama lama setelah berakhirnya kejayaan Purnawarman. Seperti yang dilansir di NatGeo Indonesia, Jakarta yang saat itu masih bernama Jayakarta sebenarnya memiliki keadaan tata air yang sangat buruk. Di musim hujan Jayakarta digenangi luapan dari Ciliwung atau Sungai Besar, sementara di musim kemarau kota ini perolehan air bisa dibilang sulit. Namun,  pedagang-pedagang yang berasal dari Belanda tetap tertarik, bahkan sampai meminta izin kepada penguasa Jayakarta untuk membangun gudang dan pangkalan di kali Ciliwung. Hal ini disebabkan oleh letak Jayakarta yang strategis, yaitu di tengah-tengah jalur pelayaran ke Timur (Maluku) dan Barat.

Akhirnya, pihak Belanda yang sudah mendapat izin pun membangun gudangnya tahun 1612 di sebelah timur muara Ciliwung. Gudang ini juga ditetapkan sebagai kantor pusat tempat pertemuan kapal-kapal yang berasal dari Belanda serta menjadi pusat perdagangan. Namun pada tahun 1619 terjadi konflik antara Belanda, bupati Jayakarta dan Inggris yang membuat Jakarta terbakar habis.

Di atas puing-puing Jayakarta Belanda kemudian membangun kota yang diberi nama Batavia. Batavia memiliki terusan-terusan yang berhubungan dengan Sungai Besar (Ciliwung) dan memiliki dua jenis, yaitu yang memotong-motong kota, berfungsi untuk drainase dan lalulintas air, serta yang melingkungi kota: yang bertujuan sebagai pertahanan.

Terusan-terusan tersebut mengalami pendangkalan sehingga dilakukan pengerukan-pengerukan yang bertujuan untuk mencegah itu. Dalam perkembangan kota, terusan-terusan ini terus mengalami perluasan. Fungsinya sebagai pertahanan, lalulintas air serta pertanian cukup efektif, namun untuk tata air sendiri ternyata tidak terlalu efektif. Adanya terusan-terusan justru menambah bahaya banjir dan pengendapan lumpur.

Pada tahun 1699, buruknya sistem tata air mengakibatkan kota Betawi terkena banjir lumpur yang berasal dari meletusnya Gunung Salak. Adanya lumpur membuat saluran air tersumbat, sedangkan pengerukan yang dilakukan beberapa tahun sekali ternyata hanya berhasil melancarkan jalan air selama beberapa tahun. Tak banyak yang bisa dilakukan, dan sepertinya tak mungkin jika mengubah tata kota dari awal lagi. Dari situlah banjir mulai rutin mendatangi Jakarta setiap musim hujan.

Namun, tak hanya tata kota saja yang menyebabkan banjir. Ada kebiasaan yang dilakukan masyarakat Jakarta sejak dulu yang memperburuk hadirnya bencana ini, yaitu membuang sampah sembarangan yang juga berakibat menyumbat saluran air. Hal ini tetap dilakukan penduduk meskipun banyak cara yang dilakukan untuk mencegahnya. (alo)

Bagikan:

Ardy Messi

Work in PR agency, Strategic Planner wannabe, a bikers, a cyclist, music and movie freak, Barca fans.
Banner Promo FXpro