Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) mencabut kekuasaan Presiden Sukarno tanggal 12 Maret 1967. Sebelumnya sejak Surat Perintah 11 Maret 1966, kekuasaan memang telah beralih pada Jenderal Suharto.
Sukarno menolak anjuran loyalisnya untuk melawan Jenderal Suharto. Dia memilih mengalah. Maka pelan-pelan Sukarno yang masih tinggal di Istana Negara dijadikan tahanan rumah. Pemerintahan Orde Baru mulai memerintahkan menurunkan gambar-gambar Sukarno dari kantor-kantor dan sekolah.
Pada tanggal 16 Agustus 1967, Sukarno meninggalkan Istana. Tak ada raungan sirine atau pengawalan laiknya seorang pejabat negara. Tidak ada lagi bendera kepresidenan yang 20 tahun menemani Sukarno.
“Bung Karno keluar hanya memakai piyama warna krem serta kaos oblong cap cabe. Baju piyamanya disampirkan di pundak, memakai sandal cap bata yang sudah usang. Tangan kanannya memegang koran yang digulung agak besar, isinya bendera sang saka merah putih,” kata Perwira Detasemen Kawal Pribadi Sogol Djauhari Abdul Muchid, seperti dilansir dari Merdekacom, Selasa (3/3/2015).
Hal itu diceritakan dalam buku berjudul “Hari-hari Terakhir Sukarno” yang ditulis Peter Kasenda dan diterbitkan Komunitas Bambu.
Tak ada pengawalan layaknya kepala negara, hanya seorang pria tua berusia 65 tahun terkantuk-kantuk dalam mobil tua menyusuri jalanan Jakarta yang macet.
Sukarno sempat tinggal di paviliun Istana Bogor. Gerakannya masih relatif bebas. Maka tentara kemudian melarang Soekarno kembali ke Jakarta. Tentu hal ini membuat Sukarno menderita. Dia mulai sakit-sakitan.
Akhirnya Agustus 1967, Suharto juga mengeluarkan ultimatum bagi anak-anak Sukarno. Mereka disuruh meninggalkan Istana Negara. Terpaksa mereka tinggal mengontrak, sementara sebagian tinggal bersama Fatmawati di Kebayoran Baru.
Desember 1967, giliran Sukarno dan Hartini yang diperintah meninggalkan paviliun Istana Bogor. Kondisi kesehatan Sukarno makin buruk. Dia kemudian pindah ke Batutulis, sebelum akhirnya menjadi tahanan rumah di Wisma Yasoo, Jakarta.
Di Wisma Yasoo inilah Sukarno diperlakukan sebagai pesakitan. Kondisinya terus memburuk. Tanggal 21 Juni 1970, Soekarno menghembuskan nafas terakhir. Berakhirlah hidup Proklamator, pejuang dan presiden pertama Indonesia ini. Ironisnya, dalam status tahanan rumah, dia ditahan oleh bangsanya sendiri.
Lebih menyedihkan lagi, hingga akhir hayatnya, Sukarno tidak pernah memiliki rumah pribadi.
“Aku satu-satunya presiden di dunia ini yang tidak punya rumah sendiri. Baru-baru ini rakyatku menggalang dana untuk membuatkan sebuah gedung buatku. Tapi di hari berikutnya aku melarangnya. Ini bertentangan dengan pendirianku. Aku tidak mau mengambil sesuatu dari rakyatku. Aku justru ingin memberi mereka,” ujar Sukarno seperti ditulis Cindy Adams dalam buku “Bung Karno, Penyambung Lidah Bangsa Indonesia”.
Sebenarnya Sukarno pernah ‘hampir’ punya rumah. Ada sebuah rumah di Batu Tulis, Bogor, yang merupakan milik Sukarno. Tetapi saat Sukarno lengser, rumah itu disita Orde Baru.
Tragisnya di Wisma Yasoo, Sukarno hidup kekurangan. Dia sering kekurangan uang, bahkan untuk biaya hidup dan pegangan sehari-hari. Walaupun status tahanan, tentu ada saja keperluan Sukarno yang tak ditanggung negara. Akhirnya Sukarno sempat meminta bantuan untuk meminjam uang.
Soekarno juga tak punya mobil pribadi. Mobil miliknya dijual untuk membiayai pembangunan Patung Dirgantara alias Patung Pancoran.
Sampai meninggal, Bung Karno tak pernah meninggalkan warisan pada bangsa ini selain semangat dan gelora revolusi. (tom)