Letusan Tambora NTB: Warga Eropa Makan Tikus, Orang China Lumat Tanah

Pada tanggal 10 April lalu, merupakan tanggal tepat Gunung Tambora meletus 200 tahun yang lalu di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Letusan dari gunung tersebut dikatakan lebih dahsyat dibandingkan letusan Gunung Krakatau yang juga berada di Indonesia. Bahkan, letusan Gunung Tambora yang terjadi pada tanggal 10-12 April 1815 itu diklaim sebagai letusan terbesar yang pernah tercatat dalam sejarah.

Jika dibandingkan, letusan Tambora lebih besar 4 kali lipat dari amuk Krakatau pada tahun 1883, dan 10 kali lipat dari erupsi Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991. Erupsi diiringi halilintar sambung-menyambung, bunyinya menggelegar bagaikan ledakan bom atom, terdengar hingga ratusan kilometer. Sir Stamford Raffles, pendiri Singapura modern, mengira bunyi memekakan telinga itu berasal dari meriam.

Kabar pertama meletusnya Tambora mencapai Inggris pada November 1815. Media The Times mempublikasikan secarik surat dari seorang pedagang di Hindia Belanda. “Kita baru mengalami letusan paling luar biasa yang mungkin belum pernah terjadi di manapun di muka Bumi,” tulis dia, seperti dimuat situs sains, NewScientist, Selasa (14/4/2015).

Dua hari setelah letusan dahsyat, Sumbawa gelap gulita. “Tanaman padi sama sekali rusak, tak ada yang tersisa. Manusia dalam jumlah besar tewas seketika, lainnya meregang nyawa setiap harinya.”

Tak hanya di Indonesia, di belahan dunia lain, efek Tambora juga merenggut ribuan nyawa. Bukan karena letusannya, melainkan akibat epidemi tifus dan kelaparan merata di wilayah Eropa. Rusuh tak terelakkan, rumah-rumah dan toko dibakar dan dijarah.

Badai salju melanda New England Juli tahun itu, panen gagal. Eropa pun mengalami kondisi yang sama parahnya. “Bahan makanan berkurang, orang-orang terpaksa makan kucing dan tikus. Warga Eropa dan sisi timur Amerika Utara mengalami kesulitan tak terbayangkan,” kata Stephen Self,  profesor ilmu bumi dan planet di University of California, Berkeley, seperti dimuat situs Imperial Valley News.

Demikian pula di Yunan, Daratan Tiongkok, orang-orang terpaksa memakan tanah liat, karena cuaca yang buruk menggagalkan panen padi.

Lebih dahsyat lagi, dampak letusan Tambora juga dikatakan sebagai penyebab kalahnya Napoleon dalam perang. Pada awal abad ke-19, politik di benua Eropa sedang goncang dengan munculnya kekaisaran Perancis yang dipimpin oleh Napoleon Bonaparte (1769-1821). Setelah melewati beberapa kali pertempuran besar Napoleon akhirnya berhasil ditangkap dan dibuang ke pulau Elba. Tidak lama dari situ Napoleon berhasil â??kaburâ? dan kembali mendeklarasikan perang dengan negara-negara lawannya.

Dalam pertempuran di Waterloo, 18 Juni 1815, atau yang dikenal sebagai pertempuran terakhir Napoleon setelah pelarian Elba, Napoleon takluk di tangan musuhnya, yaitu negara sekutu Inggris-Belanda-Jerman. Dalam sebuah teori yang disampaikan oleh Napoleon Society kekalahan Napoleon dipengaruhi oleh bencana iklim yang ditimbulkan oleh Tambora.

Lukisan Napoleon dalam perang Waterloo (Kaskus)
Lukisan Napoleon dalam perang Waterloo (Kaskus)

Hujan dan badai di malam pertempuran yang diikuti oleh dinginnya suhu (padahal hari itu sudah masuk musim panas) telah menyebabkan pasukan Napoleon terjebak dalam lumpur yang menyebabkan efektivitas pasukan kavaleri dan amunisi meriam menjadi tidak dapat digunakan. Padahal sebenarnya, Napoleon menang dalam jumlah pasukan dibandingkan lawannya.

Kekalahan Napoleon telah mengubah sejarah dan membentuk aliansi yang akan mempengaruhi konstelasi negara-negara di Eropa hingga abad berikutnya.

Tak sampai di situ, dikabarkan pula banyak kuda yang mati akibat perubahan iklim global karena letusan Tambora di Eropa. Hal itu dipercaya telah menginspirasi penemuan sepeda awal yang disebut Laufmaschine (â??mesin berjalanâ? dalam bahasa Jerman) yang ditemukan oleh Baron Karl von Drais (oleh karena itu alat transportasi ini juga disebut sebagai draisine). Pada tahun 1816 Drais mematenkan temuannya, dan mulai menjual produk tersebut di Jerman dan Perancis.

Menurut Hans-Erhard Lessing, seorang sejarawan asal Jerman yang meneliti sejarah berbagai penemuan penting, velocipede yang ditemukan oleh Von Drais bermula sebagai transportasi alternatif setelah dia menemukan banyaknya kuda yang mati akibat kelaparan dan kegagalan panen pada tahun 1815-1816.

Pada tahun 2004, para ilmuwan menemukan sisa-sisa peradaban kuno dan kerangka dua orang dewasa yang terkubur abu Tambora di kedalaman 3 meter. Diduga, itu adalah sisa-sisa Kerajaan Tambora yang tragisnya ‘diawetkan’ oleh dampak letusan dahsyat itu. Penemuan situs itu membuat Tambora punya kesamaan dengan letusan Gunung Vesuvius pada tahun ke-79 Masehi. Peradaban di Tambora lantas sebagai “Pompeii di Timur.” (tom)

Written by Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

5 Hal yang Bikin Kamu Kangen Indonesia

Di Desa Bisa Dapat Gratis, di Kota Harus Bayar