Menonton film di bioskop merupakan aktivitas yang digemari banyak orang.hanya saja akhir-akhir ini banyak orang Indonesia yang lebih memilih untuk menonton film Hollywood ketimbang film lokal, sehingga jumlah penonton film Indonesia di bioskop cenderung menurun.
Padahal, jika film yang ditonton di bioskop adalah film-film lokal, maka industri film dalam negeri pun tetap bisa terus bernapas secara sehat. Hal ini pernah diutarakan oleh Ken Marshall, produser film dari Inggris, beberapa waktu lalu di Jakarta.
“Kamu tidak menolong dan mendukung industri film Indonesia jika tidak menonton film-film Indonesia di bioskop. Kamu bahkan harus menonton di bioskop ketika film-film itu dirilis, karena waktu edar di bioskop di sini mungkin cuma sebentar, bisa cuma dua hari,” ujar Ken Marshall, seperti dikutip dari Muvilacom, Selasa (5/5/2015).
Hingga bulan Mei ini, belum ada film Indonesia yang menyentuh angka 1 juta penonton. Film paling laris masih dipegang oleh “Di Balik 98” karya Lukman Sardi yang meraih sekitar 648 ribu penonton sejak dirilis pada 15 Januari lalu, disusul oleh “Filosofi Kopi” yang meraih 208 ribu penonton.
Lalu, apa yang menjadi penyebab jumlah penonton film Indonesia fluktuatif seperti ini, bahkan makin anjlok hingga kini? Jawabannya beragam. Mulai dari kualitas film Indonesia yang tak sepadan dengan jumlah uang sudah yang dikeluarkan penonton untuk membeli tiket bioskop, seperti yang pernah dikatakan Joko Anwar dan Angga Dwimas Sasongko. Penyebab lain adalah distribusi film yang tak merata akibat jumlah layar bioskop yang kurang di Indonesia.
Saat ini Indonesia memiliki 204 bioskop dengan 1.002 layar. Sangat jauh jika dibandingkan dengan, misalnya, Korea Selatan yang mencapai 2.081 layar bioskop menurut buku â??Focus on Asia: An introduction of Current Asian Film Industryâ? terbitan AFCI Cineposium tahun 2013.
Di jumlah layar yang sedikit itu, film-film Indonesia masih harus bersaing ketat, bahkan harus rela diturunkan dari peredaran jika ada film blockbuster Hollywood yang siap dirilis, sepert misalnya “Avengers: Age of Ultron” kemarin.
Hal lain yang juga jadi masalah dari jumlah 204 bioskop di Indonesia itu adalah karena semuanya masih tersebar di berbagai kota besar di Indonesia, kecuali provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Banda Aceh, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Maluku Utara dan Papua Barat. Walhasil, kesempatan untuk menonton film Indonesia pun tidak merata bagi masyarakat. Dampak lainnya, budaya menonton film di bioskop juga tak juga terbentuk lagi.
Penyebab lain atas turunnya jumlah penonton film Indonesia di bioskop adalah pembajakan. Asosiasi Produser Film Indonesia (Aprofi) belum lama ini menyebutkan bahwa ada 20 situs di internet yang melakukan pembajakan film Indonesia maupun luar negeri. â??Hampir setiap hari mungkin. Efeknya ini loh yang bikin industri (film) ini mati, yang paling terlihat ya dari penjualan DVD Home Video,â? kata Ketua Aprofi Sheila Timothy pada awal April lalu di Jakarta.
Penyebab lainnya turunnya jumlah penonton di bioskop Indonesia adalah Indonesia masih belum memiliki basis penonton yang loyal. Maksudnya adalah orang yang datang ke bioskop tidak semuanya pecinta film. Ada juga yang hanya pembaca novel dan penasaran jika novel kesayangannya dijadikan film.
Jika kamu peduli akan perfilman Indonesia, maka kamu harus bantu memajukan perfilman Indonesia dengan cara menonton film Indonesia di bioskop. (tom)