Umat Islam di dunia khususnya yang berada di Indonesia, telah merayakan hari raya Idul Fitri atau dikenal dengan istilah Lebaran pekan lalu. Bicara mengenai Hari Raya Idul Fitri, ada satu tradisi yang tak akan pernah lepas dari perayaan ini, yakni tradisi mudik alias pulang kampung selama libur Lebaran.

Tradisi yang satu ini memang sangat khas dan unik. Karena tradisi ini biasanya dilakukan oleh hampir semua penduduk di Indonesia kala menjelang hari raya besar tersebut. Namun, hingga saat ini hampir semua pelaku mudik tak tahu kapan mulanya tradisi ini bisa berlangsung.
Sebelum membahas mengenai kapan dimulainya tradisi ini, mari kita lihat dulu mengenai istilah mudik itu sendiri. Kata mudik berasal dari sandi kata bahasa Jawa ngoko yaitu “mulih dilik” yang berarti pulang sebentar. Pendapat lainnya mengatakan kalau mudik berasal dari “Mulih Dhisik” yang berarti pulang dulu. Namun, ada juga yang mengatakan kata mudik berasal dari kata udik yang artinya desa, dusun, kampung, dan pengertian lain yang maknanya adalah lawan dari kota.
Kini kita akan membahas mengenai kapan tradisi ini dimulai. Dilansir jadiBerita dari berbagai sumber, ternyata, tradisi ini sudah dilakukan oleh nenek moyang kita dahulu. Mudik juga bukan lahir karena tradisi Lebaran, karena nenek moyang bangsa Indonesia sudah lebih dulu melakukan ritual mudik sebelum mengenal lebaran.
Awalnya, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa bahkan sejak sebelum masa Kerajaan Majapahit. Saat itu belum ada istilah mudik, adanya merti desa (bersih desa).

Upacara ini dilakukan bersama-sama di sebuah pekuburan, dan diikuti masyarakat dari ratusan desa pertanian. Mereka melakukan doa bersama, memohon keselamatan desanya. Menurut kepercayaan saat itu, roh para leluhur dapat membantu mereka menyampaikan doa kepada dewa-dewa di kahyangan. Menjelang bersih desa, orang-orang yang berada di perantauan diminta pulang ke kampung halamannya. Tuntutan pulang kampung inilah yang melahirkan tradisi mudik.
Saat pulang ke desanya para petani membersihkan kuburan leluhurnya. Tradisi tersebut bertujuan agar perantau diberi keselamatan dalam mencari rezeki dan keluarga yang ditinggalkan aman dan tenteram.
Tetapi setelah pengaruh agama Islam masuk ke tanah Jawa, tradisi tersebut berangsur-angsur terkikis, karena dianggap sebagai perbuatan yang sia-sia dan masuk dalam katagori syirik. Meski demikian, peluang kembali ke desa setahun sekali itu muncul kembali lewat momentum Idul Fitri. Itulah sebabnya, mengapa kebanyakan masyarakat Jawa yang mudik selalu menyempatkan diri berziarah dan membersihkan kuburan keluarga dan leluhurnya yang telah meninggal.
Meski tidak diajarkan di dalam agama Islam, tradisi mudik membawa banyak nilai positif yang tak dapat diukur dengan materi. Karena, mudik Lebaran jelas bertalian erat dengan semangat Idul Fitri, yaitu kembali pada kesucian.
Melalui momentum mudik, hubungan persaudaraan bisa dilekatkan kembali. Si anak akan sungkem, menunjukkan baktinya kepada orangtua maupun sudaranya yang lebih tua.
Misi ukhuwah islamiyah juga terkandung di dalamnya. Apalagi tradisi Lebaran di kampung-kampung masih diwarnai dengan acara saling kunjung-mengunjungi, halal bihalal, dan sedekah kepada para fakir miskin. (tom)