Apabila kehidupan para pengusaha Warung Tegal (Warteg) di kota-kota serba apa adanya, namun tidak demikian dengan di desa tempat mereka berasal. Orang yang baru menginjakkan kakinya pertama kali di Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, pasti akan berdecak kagum. Di dua desa tersebut, hampir semua bangunan rumah warga megah dan mewah bagaikan istana dengan dana ratusan juta bahkan miliaran. Halamannya pun luas dan dilengkapi taman.
Jika menjelang Lebaran, sepanjang jalan di desa tersebut akan diwarnai dengan mobil-mobil mewah yang terparkir di depan rumah dan tepi jalan. Mendadak desa itu pun berubah menjadi kota Metropolitan. Hebatnya lagi, komunikasi mereka juga menggunakan bahasa Betawi, bukan bahasa Tegal. Utamanya bagi anak-anak seumur SD dan SMP serta SMA.
Sayangnya, rumah itu kerap kosong dan hanya dihuni orang tua yang sudah berumur. ”Ramainya kalau Lebaran saja. Sekarang sudah sepi lagi,” kata Faizin, salah seorang pedagang warteg, dikutip dari JPNNcom, Kamis (30/7/2015).
Kini, kondisi desa yang berada di ujung utara kota Slawi itu sangat sepi dan sunyi. Rumah gedongan yang berlantai dua hingga tiga itu hanya ada ayam yang terlihat mengotori teras rumah tersebut. Tampaknya, pemilik rumah rela meninggalkan harta bendanya hanya untuk mengais rejeki di Jakarta. Di tempat perantauan, hidup mereka justru berbeda jauh dengan kondisi rumahnya. Mereka di sana rela tidur di warung yang ukurannya sangat jauh berbeda dengan luas rumahnya.
Menurut Faizin yang juga merupakan Kepala Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, selama ditinggal merantau, rumah-rumah mewah tersebut hanya dihuni orang tua atau saudara si empunya rumah. Tidak sedikit pula rumah mewah yang dibiarkan kosong hingga rumput liar tumbuh subur di halamannya.

”Sebagian kecil sertifikat rumah mewah itu dijaminkan untuk pinjaman di bank,” ujar Faizin.
Menurut dia, sertifikat rumah-rumah itu biasanya dijadikan jaminan di bank karena kondisi pedagang warteg sedang paceklik. Kondisi itu diawali dari harga sewa bangunan untuk warteg di Jakarta yang mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per tahun.
Sejak tahun 1970-an, lanjut Faizin, warga di dua desa itu merantau ke Jakarta untuk membuka warung kecil-kecilan. Saat itu, warga perantau hanya menjual makanan kecil dan gorengan.
”Belum menyediakan nasi lengkap dengan sayur dan lauknya,” ujar Faizin.
Warteg, ungkap dia, mengalami kejayaan pada tahun 1980-1990. Sebab, harga sewa warung dan upah karyawan saat itu masih murah.
Hingga kini, di antara sekitar 10 ribu warga Desa Sidapurna, 50 persen masih menekuni usaha warteg di Jakarta. Pedagang yang tergolong sukses mendapat penghasilan kotor Rp 3 juta-Rp 5 juta per hari. Dengan besarnya penghasilan itu, sebagian pedagang warteg bisa membangun rumah di kampung. Biaya yang dihabiskan rata-rata Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar.
Selain mampu membangun rumah mewah, beberapa pemilik warteg di Jakarta bisa juga menjalankan ibadah haji. Namun, biasanya, mereka baru bisa berangkat jika sudah melakoni bisnis tersebut sudah lama. (tom)