Mendengar kata gembel pasti kamu langsung membayangkan hal-hal yang berbau konotasi seperti lusuh, bau, kumal, kusam, tambalan, dan hal-hal lainnya yang agak menjijikkan. Tapi buang jauh semua persepsi itu saat melihat baju gembel yang ada di Jepang. Sebab baju gembel yang ada di Jepang identik dengan high class, eksklusif, nyentrik, dan nyeni.
Boro, pakaian asli gembel di Jepang yang berubah menjadi pakaian modis dan eksentrik. Tentu saja dibutuhkan tangan-tangan kreatif orang-orang yang memiliki keahlian seni yang artistik, serta kemauan untuk merawat tradisi dari masa lampau itu. Kalau kamu ingin melihat baju boro alias baju gembel ini kamu bisa datang ke Museum Amuse di Asakusa, Taito, Tokyo, Jepang, tepat di sisi kiri Kuil Asakusa.
Boro sesungguhnya adalah pakaian sehari-hari penduduk Jepang, terutama yang tinggal di wilayah utara, seperti Pulau Hokkaido dan bagian utara Pulau Honshu. Di wilayah-wilayah tersebut kondisinya bersalju dan musim dinginnya panjang sehingga suhunya sangat dingin. Karena itu, boro adalah baju hangat yang berfungsi mencegah tusukan dingin suhu udara.
Pakaian itu ditambal berulang-ulang dengan potongan kain-kain kecil atau semacam kain perca. Karena, di masa lalu, tidak mudah juga menemukan potongan kain yang utuh. Jadi, potongan kain kecil-kecil yang barangkali sisa-sisa kain ternyata ada gunanya. Tambalan akan semakin tebal jika tubuh masih terasa menggigil. Semakin tebal tambalan, baju akan semakin berat. Beratnya bisa mencapai 15 kilogram. Berat juga yah?
Lewat proses kreatif dan inovatif, boro yang semula pakaian sehari-hari, yang digunakan dari generasi ke generasi, sekarang berubah drastis menjadi produk canggih dan artistik. Dari ruang lingkup lokal meluas ke lingkup global. Dari properti rumahan kini menjadi produk desain seni tekstil yang artistik. Statusnya pun meningkat luar biasa menjadi high class dengan cita rasa tinggi. Apalagi sejumlah pesohor, seniman, perancang busana, kolektor menghidupkan kembali boro menjadi tren gaya hidup.
Kelanggengan pakaian tradisional itu seakan menghidupkan kembali zaman Edo (1603-1868). Pakaian itu sampai menjadi mode pakaian eksentrik saat ini tak lepas dari peran Chuzaburo Tanaka, seorang etnolog dan penulis, yang mengoleksi pakaian kampung tersebut.
Tanaka yang lahir di wilayah utara Pulau Honshu di Prefektur Aomori pada 1933 memiliki sekitar 30.000 koleksi penting berupa kekayaan budaya, kesenian rakyat, barang antik, dan pakaian. Koleksinya tersebut berkualitas tinggi. Hal itu diakui dan dipuji oleh tokoh-tokoh penting, terutama seniman, seperti Akira Kurosawa (1910-1998) dan Shuji Terayama (1935-1983), yang bahkan menggunakan beberapa koleksi Tanaka dalam film atau buku karya mereka.
Museum Amuse menggelar pameran boro untuk pertama kalinya setelah 100 tahun berlalu sejak penggunaan terakhir boro. Boro bukanlah baju limbah, tetapi bermetamorfosa sebagai apa yang disebut keindahan praktis (Yuyo-no-Bi) yang barangkali telah lama terlupakan.
Kalau kamu ingin berkunjung ke museum itu, koleksi boro dapat dilihat di lantai 2 dan 3. Jam buka museum antara pukul 10.00 sampai pukul 18.00 kecuali hari senin karena hari senin museum itu tutup. (jow)