Sebagai pembaca dan penulis, kita tentu sering menemukan tanda baca, entah itu koma, titik, titik dua, garis miring, dan tanda baca lainnya. Koma, titik dua, titik koma, dan saudara-saudaranya merupakan bagian tak terpisahkan dari penulisan, menunjukkan struktur gramatik, dan membantu kita mengubah tulisan menjadi bahasa lisan atau gambar. Tahukah kamu dari mana asal tanda baca ini?
Percaya tidak percaya, dilansir dari BBC, Rabu (2/3/2016), rupanya tulisan pada zaman dahulu kala tak mengenal adanya tanda baca. Diketahui bahwa kaum Yunani kuno menulis naskah-naskah mereka dengan huruf-huruf yang dideret tanpa tanda baca atau spasi dan tanpa pembedaan huruf kecil atau huruf besar. Dari huruf-huruf yang sesak berjejeran itu, terserah pada pembaca untuk menemukan sendiri di mana sedia kata atau kalimat berakhir dan kalimat berikutnya bermula.
Melihat hal ini, seorang pustakawan bernama Aristophanes tak bisa tinggal diam. Aristophanes sendiri adalah kepala staf perpustakaan kota yang sangat terkenal, yang memiliki koleksi ratusan ribu gulungan tulisan, yang sangat makan waktu untuk dibaca.
Terobosan Aristophanes adalah untuk menyarankan bahwa pembaca bisa memberi catatan pada dokumen mereka, menghentikan aliran teks yang tak berkesudahan dengan titik-titik di bagian tengah (·), bawah (.) atau atas (·) dari setiap baris.
Bermacam titik terhubung dengan jeda pada kalimat yang pendek, menengah, dan makin panjang, dan pembaca bisa menyisipkan penanda dari apa yang disebut koma, titik dua, dan titik. Tentu saja, titik-titik ini bukan tanda baca seperti yang kita kenal sekarang ini, karena Aristophanes hanya menggunakannya sebagai penanda jeda saja, namun titik-titik inilah yang menjadi cikal bakal tanda baca seperti yang kita kenal.
Sayangnya, tidak semuanya teryakinkan akan nilai penting penemuan baru ini. Ketika Roma mengambil alih orang Yunani sebagai penguasa kekaisaran kuno, mereka meninggalkan sistem titik-titik Aristophanes tanpa pikir panjang. Cicero, misalnya, salah satu pembicara paling terkenal di Roma, mengatakan kepada hadirin pidatonya, bahwa akhir kalimat seharusnya ditentukan bukan oleh jeda pembicara yang mengambil napas, atau tanda yang ditentukan oleh juru tulis naskah, tetapi oleh penakanan irama.
Namun, munculnya jenis kepercayaan yang berbeda mendorong hidupnya lagi titik-titik Aristophanes dan bahkan berkembang ke arah tanda baca. Seiring runtuhnya Kekaisaran Romawi pada abad ke-4 dan ke-5, orang-orang pagan Roma mendapati diri mereka terlibat dalam peperangan melawan agama baru yang disebut Kristen. Berbeda dengan masyarakat pagan yang selama ini selalu meneruskan tradisi dan budaya mereka dari mulut ke mulut, orang-orang Kristen lebih suka menuliskan mazmur dan Injil mereka untuk menyebarkan firman Tuhan dengan lebih baik.
Buku menjadi bagian integral dari identitas Kristen, menciptakan huruf berhias dan tanda pemisah paragraf (?, ¢, 7, ¶ dan lain-lain), dan banyak tulisan yang meriah dengan ilustrasi lukisan yang rumit dan daun emas.
Seiring penyebarannya di Eropa, agama Kristen mendayagunakan penulisan, dan menghidupkan tanda baca. Di abad ke-6, para penulis Kristen mulai memberi tanda baca pada karya-karya mereka sendiri jauh sebelum pembaca membacanya, untuk melindungi makna aslinya. Kemudian, pada abad ke-7, Isidore of Seville menjelaskan versi terbaru dari sistem titik-titik Aristophanes, yaitu jeda baca yang singkat (.), menengah (·) dan panjang (·).
Tanda subdistinctio atau titik rendah (.) yang sudah dikristenkan itu tidak lagi cuma menandai jeda sederhana tapi agak merupakan tanda dari koma berdasar ketentuan gramatika; sedangkan titik tinggi, ordistinctio finalis (·), menandai akhir kalimat.
Tak lama setelah tanda baca versi baru kembali digunakan, muncullah spasi sebagai pemisah antar kata. Spasi ini merupakan penemuan biarawan Irlandia dan Skotlandia yang bosan dan capek dengan keharusan memisah-misahkan kata-kata Latin yang asing. Dan menjelang akhir abad ke-8, di negara Jerman yang baru lahir, raja terkenal, Charlemagne alias Karl (Charles) Yang Agung memerintahkan seorang biarawan bernama Alcuin untuk merancang alfabet terpadu dari huruf-huruf, yang kemudian kita kenal sekarang sebagai huruf kecil.
Sesudah titik-titik kecil Aristophanes menjadi hal biasa, penulis mulai memperluas cakupannya. Ada yang meminjam tanda dari notasi musik, terinspirasi oleh nyanyian zaman Gregoria untuk membuat tanda baru seperti punctus versus (dering abad pertengahan untuk titik koma digunakan untuk akhiri kalimat) dan elevatus punctus (tanda dalam posisi terbalik ‘;’ yang berkembang menjadi titik koma modern), yang berimplikasi pada perubahan nada serta makna gramatikal. Tanda baru lainnya, leluhur dari tanda tanya, juga muncul. Tanda itu disebut punctusinterrogativus, dan digunakan untuk menekankan pertanyaan sekaligus menandai naiknya nada. Lalu, pada abad ke-15, muncullah tanda baca baru lainnya, yaitu tanda seru.
Akan tetapi, tanda baca baru ini mengakibatkan tiga titik Aristophanes yang pertama kali melahirkan tanda baca, jadi tersingkir. Simbol-simbol yang lebih spesifik terus diciptakan. Perbedaan antara titik rendah, sedang dan tinggi jadi tidak jelas, dan akhirnya yang tersisa adalah titik sederhana yang bisa ditempatkan di mana saja pada suatu kalimat untuk menunjukkan jeda, yang kita kenal sebagai titik sekarang ini (berada di bawah).
Tanda titik makin mendapat tekanan lagi ketika abad ke-12 penulis Italia bernama Boncompagno da Signa mengusulkan sistem tanda baca yang sama sekali baru yang terdiri dari hanya dua tanda: garis miring (/) berarti jeda, sedangkan tanda datar (-) menghentikan kalimat. Namun lambang buatannya itu akhirnya tidak digunakan menjadi penanda jeda, dan justru beralih fungsi menjadi tanda baca lain, seperti garis miring yang kita pakai sekarang ini.
Kesimpulannya, berbagai tanda baca yang kita gunakan sekarang ini merupakan perpaduan dari tiga zaman, yaitu Yunani kuno, zaman abad pertengahan, dan kemudian zaman abad ke-12. (tom)