Siapa yang tak tahu kawasan Malioboro? Kawasan ini menjadi jantung kota sekaligus simbol keberadaan kota Yogyakarta. Bahkan bagi beberapa orang, serasa belum pergi ke Yogyakarta kalau belum menginjakkan kaki ke Malioboro. Tapi di balik itu, ada sejarah panjang bagaimana kawasan itu dinamakan Malioboro.
Diawali akan keberadaan Keraton Yogyakarta yang berdiri sekitar abad 18, jalan Malioboro saat itu masih jalan tanah tanpa nama. Jalan itu digunakan untuk menghubungkan Keraton Yogyakarta dan Tugu Golog-gilig yang membentuk garis imajiner lurus dengan gurung Merapi. Kanan kirinya pun masih berupa tanah dan sebagian besar berupa perkampungan.

Dilansir jadiBerita dari berbagai sumber, menurut Prof. Djoko Suryo, seorang ahli sejarah, dari dulu kawasan jalan itu baru ada pasar Beringharjo dan Kepatihan. Tapi semenjak dibangun jalan kereta api dan Stasiun Tugu yang menjadi sentral transportasi yang keluar masuk Jogja, kawasan itu jadi ramai dan Jogja menjadi kota modern. Banyak orang asing masuk, khususnya orang Tionghoa banyak yang mendirikan toko-toko. Selanjutnya dibangunlah penginapan-penginapan dan hotel.
Pada tahun 1912, kerajaan Inggris di bawah pimpinan Stamford Raffles menyerang kesultanan Yogyakarta yang saat itu diperintah oleh Sultan HB II. Demi menggugah pasukan Inggris menaklukkan pasukan Yogyakarta saat itu, Raffles menanamkan jiwa dan semangat kepahlawan kerajaan Inggris yaitu Duke of Malborough.
Duke of Malborough adalah panglima kerajaan Inggris yang berhasil mengalahkan pasukan Spanyol dan Perancis dalam berpuluh-puluh kali pertempuran. Keberanian dan kekuatan Malborough itulah yang dipompakan ke pasukan Inggris. Sejak itu, masyarakat Yogyakarta tidak asing dengan nama Malborough.

Seringnya pasukan Malborough melewati jalan tanpa nama menuju pusat kota yakni Gedung Residen dan Benteng, membuat masyarakat Yogyakarta memberi nama jalan itu jalan Malborough.
Menurut Djoko Surya, karena masyarakat Jawa susah mengucapkan kalimat bahasa Belanda dan Inggris maka disesuaikan dengan lidah Jawa. Oleh karena itu sampai sekarang masyarakat Jawa menyebut jalan itu Jalan Malioboro.
Selain versi yang telah disebutkan di atas, ternyata masih ada lagi dua versi berbeda terkait penamaan Malioboro. Pertama ada versi Malioboro yang diambil dari bahasa Sansekerta “Malyabhara” yang artinya karangan bunga, dan versi kedua adalah penamaan Malioboro yang ternyata juga dapat dijelaskan menurut bahasa Kaili, yang merupakan bahasa khas etnis Kaili di Sulawesi Tengah.

Versi pertama, dalam catatan sejarawan P.B.R Carey, kata â??Malioboroâ?? berasal dari bahasa Sanksekerta â??Malyabharaâ? yang berarti karangan bunga. Pada masa kerajaan Mataram, Malioboro selalu menjadi jalur utama tempat dilakukannya upacara perayaan atau prosesi Kraton.
Jalan Malioboro menjadi penghubung mulai Merapi, Tugu Golong-Giling hingga Kraton. Malioboro saat itu tidak hanya menjadi pusat perbelanjaan, wisata dan pemerintahan saja, tapi juga sebagai tempat pelaksanaan acara kebudayaan seperti â??Kirab Satu Suroâ?? di mana rutenya dimulai dari Tugu â?? Malioboro â?? hingga ke pagelaran Kraton.

Untuk versi kedua yang berasal dari bahasa Kaili, yang digunakan di Kabupaten Banggai, sebahagian Kabupaten Banggai Kepulauan, Kabupaten Donggala, Kabupaten Parigi Moutong, Kabupaten Toli Toli, Kabupaten Poso, Kabupaten Morowali, dan sebagian Kabupaten Tojo Una Una, Malioboro berasal dari kata â??Maâ??-â??Liâ?? atau â??Liuâ??-â??Boroâ??. â??Maâ?? berarti â??orangâ?? atau â??manusiaâ??, sementara â??Lioâ?? atau â??Liuâ?? berarti â??lewatâ?? atau â??jalan yang dilewatiâ??, dan Boro yang bermakna â??kecilâ??, â??kerdilâ??, atau â??pendekâ??.
Dengan demikian, maka â??Malioâ?? atau â??Maâ??-â??Liuâ??-â??Boroâ?? dalam bahasa Kaili adalah jalan yang di lewati oleh orang kecil (bukan keturunan ningrat).
Hingga saat ini, memang masih belum ada sejarah pasti mengenai sejarah penamaan Malioboro, namun ketiga versi di atas adalah yang paling masuk akal. Kalau kamu memilih versi yang mana? (tom)