Begini Asal Mula Tradisi Makan 3 Kali Sehari

Pernahkah terpikirkan olehmu, kenapa kita diajarkan untuk makan sebanyak 3 kali sehari? Kenapa tidak dua? Atau empat? Atau bahkan 10? Berikut ini sejarahnya, seperti dilansir jadiBerita dari berbagai sumber.

Denice Winterman dari BBC menyediakan jawaban atas pertanyaan tersebut dengan membuat laporan tentang sejarah singkat bagaimana masyarakat di terdahulu menemukan dan kemudian membiasakan sarapan, makan siang, dan makan malam. Sebuah struktur makan, yang menurut Denice, tak ada sebelum masyarakat mulai beranjak modern.

Rupanya, sarapan atau makan pagi tak ada dalam kamus masyarakat era Kekaisaran Romawi. Mereka biasa makan sehari sekali saat sekitar tengah hari. Dalam wawancara dengan Winterman, sejarawan makanan Caroline Yeldham berkata bahwa rakyat Romawi dulu terobsesi dengan sistem pencernaan tubuh dan menganggap makan lebih dari sekali dalam sehari sebagai tanda keserakahan.

Sarapan (Appannie)

Pada era setelahnya, pola makan terpengaruh oleh pesatnya tingkat religiusitas di Eropa dan mulai ada kebiasaan untuk makan di jam-jam pagi, meski tak sepagi sekarang. Jelang abad 17, dipercaya masyarakat Eropa dari segala kelas sosial makin terbiasa sarapan di jam yang lebih awal dari sebelumnya. Semuanya bermula dari kebiasaan orang kaya di Inggris. Hingga tahun 1740-an, mulai muncul ruangan khusus sarapan di rumah-rumah bangsawan Eropa.

Revolusi Industri di Inggris pada pertengahan abad 19 mengubah masyarakat menjadi lebih modern. Salah satu ciri modernitas adalah gaya hidup yang terstruktur alias berpola. Untuk urusan sarapan juga demikian. Para pekerja dipatok jam kerja yang ketat, maka mereka membiasakan sarapan untuk mengisi tenaga sepanjang hari. Semua pekerja melakukannya tanpa kecuali, bahkan bos-bos mereka.

Pada 1920 dan 1939, pemerintah negara-negara di Eropa, yang kemudian menyebar ke Amerika Serikat dan negara lain, mulai mempromosikan pentingnya sarapan, namun Perang Dunia II membuat akses menuju sarapan amat susah. Keadaan kembali normal dan masyarakat dunia bisa kembali mengakses sarapan dengan layak usai PD II selesai. Di Eropa dan AS sendiri, sarapan dengan menu kopi instan, roti tawar, dan sereal mulai populer.

Beralih ke makan siang, salah satu teori lahirnya kata â??lunchâ? diyakini berasal dari kata Anglo-Saxon lawas â??nuncheonâ? yang berarti â??makan cepat di antara dua waktu makan dengan sesuatu yang bisa kamu pegang di tanganâ?. Menurut Yeldam kebiasaan ini dilestarikan hingga akhir abad 17. Teori lain berkata bahwa “lunch” berasal dari kata â??nuchâ? yang digunakan sekitar abad 16 dan 17 untuk menyebut roti berukuran besar.

Menu makan siang (Vemale)

Namun, di antara sekian teori, kebiasaan rakyat Prancis untuk â??souperâ? di abad ke-17 lah yang membentuk apa yang hari ini kita sebut makan siang. Kala itu rakyat Prancis untuk makan makanan ringan saja di kala malam sehingga makan berat dialihkan ke waktu siang. Kebiasaan modis ini kemudian diterapkan oleh bangsawan Inggris dan menyebar ke rakyat jelata.

Revolusi Industri juga berpengaruh. Pola makan rakyat kelas menengah dan bawah didefinisikan oleh jam kerja. Banyak pekerja yang menghabiskan waktu dari pagi hingga sore untuk membanting tulang, sehingga makan siang adalah sesuatu yang sama pentingnya dengan sarapan. Meski waktunya mepet, mereka akan tetap mengusahakannya.

Kebiasaan ini melahirkan produksi dan penjualan kue pie di sekitar pabrik. Pie, dan makanan cepat saji lain, akhirnya menjadi menu favorit karena tak mungkin para pekerja mengandalkan menu â??slow foodâ? di tengah beban kerja yang berat.

Akibat kebiasaan yang demikian populer, pada abad ke-19 restoran-restoran dengan menu beragam muncul. Para pekerja, berkat perjuangan aktivis buruh, juga disediakan waktu jam makan siang selama satu jam. Namun perang dunia yang pecah di tahun 1939 membuat pola makan siang agak terganggu.

Pasca-perang, era 1950-an, kafe semakin banyak. Produksi roti, terutama untuk makan siang, semakin besar sehingga harganya juga makin murah. Proses produksi ini disebut dengan istilah â??The Chorleywood Process.â? Roti isi kemudian populer untuk makan siang, terutama yang bisa dibeli cepat dan dibawa ke tempat kerja. Dahulu berbeda seperti sekarang. Meski harus lanjut kerja, dulu para pekerja masih santai saat menyantap makan siang. Kini, dengan persaingan dan beban kerja yang makin intens, semua terasa makin terburu-buru.

Makan malam (Okezone)

Saat pekerja kelelahan usai bekerja seharian, sore menjelang malam menjadi waktu yang tepat untuk mulai beristirahat. Kondisi lelah inilah yang kemudian memunculkan kebiasaan makan malam. Kebiasaan â??full mealâ? dianggap hadiah yang pantas dinikmati usai seharian mencari nafkah. Malam juga waktu yang tepat untuk keluarga berkumpul, sehingga mulai era 1950-an, mulai ada kebiasaan untuk makan malam bersama keluarga.

Menurut profesor sekaligus sejarawan dari Yale University, Paul Freedman, kebiasaan makan sehari tiga kali lebih untuk urusan sosial-budaya ketimbang biologis. Editor buku “Food: The History of Taste” itu berkata kepada HowStuffWorks bahwa munculnya pola makan tiga kali sehari sesederhana karena orang-orang nyaman dengan kebiasaan ini, dan kebiasaan ini berlangsung hingga sekarang, meskipun ada beberapa orang yang sengaja tidak makan siang atau makan malam karena kesibukan sehari-hari. (tom)

Written by Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

Ringgo 5, Band Rock Pendatang Baru Siap Gebrak Musik Indonesia

Aksi Mengagumkan Evan Le, Pianis Muda Ajaib