Bagi orang Jakarta, nama kawasan Glodok dan Pancoran tersohor sebagai lokasi penjualan alat elektronik. Selain itu, kawasan yang terletak di Jakarta Barat ini juga terkenal sebagai daerah pecinan Jakarta atau lokasi tempat banyak etnis Tionghoa menetap. Bagaimana sejarahnya hingga daerah ini bisa dinamakan Glodok? Berikut sejarahnya seperti dilansir jadiBerita dari berbagai sumber.
Glodok sebagai kawasan pecinan sebenarnya sudah eksis sejak lama, bahkan sejak zaman penjajahan Belanda. Tentu saja hal ini disebabkan mayoritas warga Glodok adalah keturunan Tionghoa.
Ada beberapa versi mengenai asal usul penamaan Glodok ini. Versi pertama menyebutkan nama Glodok berasal dari bahasa Sunda â??Golodogâ? yang berarti pintu masuk rumah. Pasalnya Sunda Kelapa menjadi pintu masuk ke kerajaan Sunda, saat sebelum dikuasai Belanda yang membawa para pekerja dari berbagai daerah menjadi Batavia.
Sunda Kelapa dihuni oleh orang-orang Sunda dan ejaan Glodok pun seiring waktu berubah karena ejaan orang-orang Sunda pada masa itu.
Ada pun versi lainnya, menurut Adjie, pemandu dari “Jakarta Food Adventure”, dalam acara “Explore Kota Tua & The Taste of Dutch & Betawi Culinary”, nama Glodok berasal dari hal yang cukup unik. “Jadi, dulu itu di depan Balai Kota atau sekarang Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah) setiap sore masyarakat mengambil air bersih dari pancuran yang ada di depannya,” ujar Adjie.
Menurut Adjie pula, sumber mata air pancuran tersebut berada cukup jauh, yakni sekitar tiga kilometer dari pancuran dan dialirkan menggunakan pipa. Lantas, apa hubungannya dengan kawasan Glodok?
“Sumber mata airnya berasal dari semacam kincir kayu yang terus berputar dan saat berputar mengeluarkan suara ‘glodok, glodok‘. Jadi, orang mulai memanggil tempat sumber mata air itu Glodok.”
Bicara tentang Glodok, tentu tak bisa terpisahkan dari kawasan Pancoran yang berada di dekatnya. “Kawasan Pancoran dekat Glodok, sebenarnya itu berasal dari sebutan pancuran air,” cerita Adjie.
Orang zaman dahulu, menurut Adjie, sangat gemar membuat nama tempat dari sebutan atau kondisi saat itu. “Seperti Jalan Pintu Besar dan Pintu Kecil dulu itu memang Kota Batavia dikelilingi benteng yang ada pintu besar dan pintu kecil untuk lalu lalang,” ujar Adjie. (tom)