Berbicara tentang pahlawan Indonesia yang berjuang dalam mendapatkan kemerdekaan Indonesia, mungkin akan terpikir olehmu sosok Sukarno, Bung Hatta, atau bahkan Imam Bonjol dan Pangeran Diponegoro. Memang beliau-beliau itu adalah sosok pejuang kemerdekaan, namun ternyata selain yang sudah disebutkan tadi, ada satu pahlawan yang turut andil dalam memperjuangkan kemerdekaan, namun sayangnya kini terlupakan. Dia adalah Sentot Prawirodirdjo, yang dijuluki Sang Harimau asal Madiun. Inilah kisahnya, seperti dilansir jadiBerita dari berbagai sumber.
Sentot, atau nama aslinya Ngabdul Mustopo Prawirodirdjo, merupakan pemuda 17 tahun putera mendiang Raden Ronggo Prawirodirdjo III, Bupati wedana (setingkat gubernur) mancanegara timur yang berpusat di Madiun. Di usianya yang terbilang sangat muda, dia sudah memiliki korps sendiri, dan merupakan unit kavaleri paling mengerikan dalam barisan Diponegoro, mengingat reputasinya yang nyaris tidak pernah kalah.
Berbicara tentang sosok Sentot Prawirodirdjo, dia dikenal dengan berbagai versi. Ada yang menyebutnya sebagai Patriot, ada juga yang mencaci dan melaknatnya dengan sebutan Pengkhianat, bahkan tidak jarang dia dianggap sebagai psikopat yang gila perang, disebabkan dendamnya kepada Belanda, mengingat ayahnya tewas di tangan Daendels, Gubernur Jenderal Hindia Belanda kala itu.
Tentunya, dengan reputasi yang dimiliki Sentot, hal ini membuat Belanda memikirkan strategi untuk berdamai, dengan tujuan untuk menekan korban jiwa dari kedua belah pihak. Hingga pada pertengahan tahun 1828, Belanda mengirim utusan seorang Arab asal Jeddah bernama Syaikh Amirul Arabi Ahmad Al-Anshari. Dia dikenal memiliki kedekatan dengan Pangeran Diponegoro, diutus untuk menemui dan membujuk Sentot. Salah satunya, untuk memberi pesan kepadanya bahwa Kyai Mojo, guru spiritual dari Pangeran Diponegoro pun berencana berdamai dengan Belanda.
Sentot pun menolak dengan tegas. Hingga akhirnya, Sentot memutuskan untuk mengobrak-abrik pertahanan yang sedang disusun oleh Belanda, menghabisi lusinan prajurit, dengan cara yang tidak masuk di akal, yaitu mengirim pasukan yang hanya berjumlah 3 orang.
Tiga orang tersebut, merupakan bawahan Sentot yang dikenal berani mati, memiliki kemampuan dan taktik berperang yang cenderung nekat, yang awalnya hanya bekerja sebagai petani. Bagaimana bisa mengubah petani-petani tersebut menjadi prajurit tempur yang tak kenal mati? Jawabannya sederhana, karena mereka lapar.
Tiga tahun berjalan, Perang Jawa mulai memasuki babak terbrutalnya. Tidak ada lagi istilah kode etik. Tawanan hanya akan dibiarkan hidup bila dianggap memiliki keuntungan. Sentot menyadari hal tersebut tidak akan menguntungkan kedua belah pihak, terutama pihak rakyat desa sebagai penyuplai logistik bagi pasukan Sentot. Tanpa perang, kondisi mereka sudah sulit. Hal ini menyebabkan Sentot mulai memikirkan opsi berdamai dengan Belanda.
Tahun Keempat. Babak paling menentukan dalam perang, dimana Belanda nyaris bangkrut dikarenakan anggaran perang yang melangit, dan Pangeran Diponegoro yang semakin kesulitan mengakses suplai logistik dikarenakan benteng yang didirikan Belanda. Kedua belah pihak sama-sama mencapai frustasinya, dan di ambang keputusasaan.
Ditambah lagi, Kyai Mojo beserta 500 prajurit seniornya yang pada tahun 1828 membelot dan kemudian memihak Belanda, membuat Sentot semakin frustasi. Bukan tanpa sebab, setiap gerilyawan yang memutuskan untuk memihak Belanda, mereka dijanjikan tanah, gaji, serta tunjangan dari pemerintah Belanda. Sentot pun menyadari satu hal, meski mereka belum kalah, mereka sudah tidak mungkin untuk menang.
16 Oktober 1829, Sentot resmi menyerah kepada Belanda. Seminggu kemudian dia bersama pasukannya memasuki ibukota Yogyakarta dan disambut langsung oleh Jenderal De Kock dengan prosesi penghormatan secara militer.
Setelah pasukannya resmi bergabung dengan Belanda, Sentot dianugerahi pangkat Mayoor Cavalerei, dan kemudian dikirim ke negeri yang belum pernah mereka injak sebelumnya, Tanah Sumatera, dan ikut berperang, melawan Pasukan Padri.
Namun, ada seorang perwira Belanda yang mencurigai gerak-gerik Sentot selama keberadaannya di Sumatera Barat. Adalah Letkol Jacob Elout, yang berpendapat bahwa pihak Belanda telah melakukan kesalahan, terbukti oleh beberapa catatan yang membuktikan bahwa Sentot membelot, dan bersekongkol melawan Belanda dengan Kaum Padri.
Pada akhirnya, Sentot pun dikirim kembali ke Jawa, yang kenyataannya, dia tidak pernah benar-benar kembali ke Jawa. Pada prosesi pemulangannya, ditengah perjalanan pulang, Sentot diturunkan dan ditahan di Bengkulu, dan ditinggal mati sebagai orang buangan.
Meski namanya kini terlupakan, jasanya cukup besar untuk memperjuangkan Indonesia dari tangan penjajahan Belanda, sehingga kita bisa merdeka seperti sekarang ini. (tom)