Pamulang Miliki Kafe yang Mengandalkan Bahasa Isyarat

Merna Arini

Memesan makanan biasanya dilakukan cukup dengan menyebutkan keinginan kita ke pramusaji. Tapi, hal itu tidak berlaku di cafe Finger Talk di daerah Pamulang, Tangerang, Banten. Pengunjung diminta memanfaatkan tangan dan jari untuk berkomunikasi dengan pramusaji. Sebab, mayoritas adalah tunarungu. Deaf Cafe Finger Talk yang beralamat di Jalan Pinang No 37, Pamulang Timur, Tangerang Selatan dikelola oleh seorang perempuan muda bernama Dissa Syakina Ahdanisa yang masih berusia 25 tahun.

Rasa sosial Dissa untuk memberikan sesuatu bagi para tunarungu kembali muncul saat dia menjadi sukarelawan di Nikaragua, Amerika Tengah, pada 2004. Di sana dia menemukan sebuah kafe dengan seluruh pekerjanya tunarungu dengan pemilik hearing (seorang normal yang mengerti dan bisa bahasa isyarat). Kemesraan bos dan para pekerjanya tersebut seolah membangun rasa percaya diri Dissa untuk berani melangkah mewujudkan cita-cita yang sempat terpendam.

Setelah kembali ke Indonesia, Dissa dikenalkan dengan seorang deaf (penyandang tuna rungu), Pat Sulistyowati, 65, pada 2014. Pat menyambut baik niat sulung di antara empat bersaudara itu dan langsung menyanggupi untuk membantu. Caranya, berkomunikasi dengan komunitas dan anak didiknya. Pat adalah guru keterampilan. Dia membuka les jahit di rumahnya khusus untuk tunarungu. Dengan bantuan tersebut, ternyata jalan Dissa untuk menembus komunitas deaf tidak semulus dugaan awal. Dissa harus menunggu hingga lima bulan, sejak Desember 2014, untuk bisa bertemu dengan enam orang karyawannya saat ini.

Mereka satu per satu harus didekati dengan cara khusus untuk menyampaikan maksud Dissa. Usaha tersebut pun membuahkan hasil. Enam deaf berhasil diyakinkan untuk bergabung. Setelah Dissa berhasil merekrut para tunarungu, perjuangan tidak serta-merta berhenti. Dia harus belajar agar dapat menemukan pola kerja sama yang pas dengan pekerjanya. Sebab, mereka dinilai memiliki perasaan yang lebih sensitif ketimbang karyawan yang normal.

Saat tidak nyaman dalam suatu keadaan, misalnya, raut wajah mereka akan langsung jelas menggambarkan hal tersebut. Untung, sebelum memutuskan terjun dalam dunia bisnis itu, Dissa belajar dari Pat. Dia belajar bahasa istyarat, memahami sifat-sifat mereka, serta cara berkomunikasi dengan baik kepada mereka. Karena itu, saat pembukaan kemarin, Dissa selalu menanyakan kondisi mereka.

Dissa menyadari, dengan merekrut mereka, pekerjaannya pun mungkin akan semakin berat. Dia tidak hanya menjaga mood pelanggan, tapi juga anak buahnya. Hal itu tidak sedikit pun mengusiknya. Jiwa sosial untuk dapat membantu menyejahterakan mereka menjadi alasan kuat. Setelah beberapa bulan berdiri, Dissa berharap cafe yang ia kelola ini akan semakin banyak menarik para pengunjung terutama penyandang tuna rungu. (jow)

Bagikan:

Merna Arini

Buka jendela ilmu dengan membaca.