Kehebatan kaum perempuan Melayu-Nusantara telah menginspirasi perubahan peran kaum perempuan di seluruh dunia, terbukti torehan nama kapal perang KRI Malahayati yang diambil dari seorang pejuang wanita dari Aceh sebagai admiral wanita pertama di dunia. Siapa dia? Berikut kisahnya seperti dilansir dari bingoid, Rabu (19/8/2015).
Pahlawan wanita bernama Keumlahayati atau Malahayati mendapat kepercayaan menjadi orang nomor satu dalam memimpin pasukan militer dari kesultanan Aceh. Malahayati akrab dengan dunia angkatan laut, karena tidak terlepas dari didikan Sang Ayah yang juga seorang Laksamana, bernama Mahmud Syah bin Laksamana Muhammad Said Syah.
Dalam darah Malahyati juga mengalir kuat darah seorang kakek yang juga merupakan putra Sultan Salahuddin Syah dan pernah memimpin Aceh pada 1530-1539. Sebagai pelaut dan pejuang wanita, Malahayati pernah memimpin 2000 orang yang terdiri dari para janda yang suaminya telah tewas sebagai pahlawan di medan laga (mereka dikenal dengan sebutan pasukan Inong Balee) untuk berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda pada tanggal 11 September 1599.
Pada pertempuran tersebut, Malahayati berhasil membunuh Cornelis de Houtman dalam sebuah duel di atas geladak kapal. Oleh karena itulah, Malahayati memperoleh gelar laksamana pertama di dunia. Malahayati hidup di masa Kerajaan (Kesultanan) Atjeh dipimpin oleh Sultan Alaiddin Ali Riayat Syah IV yang memerintah antara tahun 1589-1604 M. Malahayati pada awalnya dipercaya sebagai kepala pengawal dan protokol di dalam dan luar istana, berpasangan dengan Cut Limpah yang bertugas sebagai petugas Dinas Rahasia dan Intelijen Negara.
Tidak banyak catatan mengenai sejarah hidup Malahayati, namun terdapat sumber catatan dari seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis pernah mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksamana Malahayati, Kesultanan Aceh memiliki perlengkapan armada laut. Malahayati digambarkan pula sebagai sosok yang tegas dan sigap mengkoodinir pasukannya di laut serta mengawasi berbagai pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, serta secara seksama mengawasi kapal-kapal jenis milik Kesultanan Aceh Darussalam. Namun sayang, suaminya gugur di palagan Selat Malaka ketika melawan Portugis.
Setelah suaminya gugur, Malahayati memohon kepada Sultan al-Mukammil, raja Aceh yang berkuasa dari 1596-1604, untuk membentuk armada perang. Prajuritnya adalah para janda pejuang Aceh yang gugur dalam pertempuran di Selat Malaka itu, yang dinamai Laskar Inong Balee dengan anggota berjumlah 2000 orang prajurit. Bertahap demi tahap, karir Malahayati mulai melesat, saat itu Kerajaan Aceh memang tengah meningkatkan keamanan karena gangguan Portugis. Usul membentuk armada dikabulkan, Malahayati diangkat jadi Panglima Armada Inong Balee atau Armada Perempuan Janda.
Pada bulan Juni 1602, Ratu Elizabeth memilih mengutus James Lancaster untuk mengirim surat kepada Sultan Aceh untuk membuka jalur pelayaran menuju Jawa. Malahayati disebut masih memimpin pasukan Aceh menghadapi armada Portugis di bawah Alfonso de Castro yang menyerbu Kreung Raya Aceh pada Juni 1606. Sejumlah sumber sejarah menyebut Malahayati gugur dalam pertempuran melawan Portugis itu. Setelah wafat dalam pertempuran laut Teluk Krueng Raya Malahayati dimakamkan di lereng Bukit Kota Dalam, sebuah desa nelayan yang berjarak 34 kilometer dari Banda Aceh, tidak jauh dari Benteng Inong Balee. Lokasi makam pada puncak bukit, merupakan salah satu bentuk penghormatan terhadap tokoh yang dimakamkan. Penempatan makam di puncak bukit kemungkinan dikaitkan dengan anggapan bahwa tempat yang tinggi itu suci. (tom)