Deja vu, Kenapa Bisa Terjadi?

Hutomo Dwi

Pernahkah kamu mengunjungi toko untuk pertama kalinya, tapi merasa akrab dengan tempat tersebut? Atau mungkin, ketika asyik mengobrol dengan teman, tiba-tiba merasa sudah pernah memiliki percakapan persis seperti itu sebelumnya, meski kamu tahu itu belum terjadi. Kalau kamu pernah seperti itu, maka kamu mengalami yang namanya deja vu.

Tenang saja, kamu tidak sendirian. Sekitar 60 sampai 70 persen dari kita mengakui pernah mendapatkan perasaan tersebut setidaknya satu kali dalam hidup.

Penglihatan, suara, rasa, bahkan bau sesuatu dapat membuat seseorang berpikir pernah mengalami hal tersebut sebelumnya, meski tahu bahwa tidak pernah mengalaminya. Ada lebih dari 40 teori tentang deja vu, dan apa penyebabnya. Semua berkisar dari reinkarnasi hingga ke gangguan dalam proses ingatan seseorang.

Dalam waktu yang lama, sensasi deja vu ini dikaitkan dengan gangguan paranormal sampai gangguan saraf. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, banyak ilmuwan mempelajari fenomena ini. Sejumlah teori deja vu muncul, membuktikan jika ini bukan kesalahan dalam sistem memori otak manusia semata.

Ingatan manusia (Thinkstock)
Ingatan manusia (Thinkstock)

Sulit untuk mempelajari deja vu di laboratorium. Deja vu termasuk fenomena langka dan sulit untuk direproduksi. Namun, ada kesamaan antara deja vu dan pengalaman yang lebih umum ketika melihat seseorang yang tampaknya tidak asing, tetapi lupa siapa namanya, bagaimana saling mengenal, dan di mana pernah bertemu. Tidak seperti deja vu, para ilmuwan dapat menguji perasaan keakraban tersebut di laboratorium.

Laporan dari psikolog Universitas Negeri Colorado Anne M. Cleary menjelaskan penemuan tentang deja vu dalam jurnal Current Directions in Psychological Science, termasuk penjelasan tentang banyaknya kesamaan antara deja vu dan pemahaman kita tentang memori pengenalan pada manusia.

Memori pengenalan adalah jenis memori yang memungkinkan seseorang menyadari bahwa apa yang sedang dialami seseorang pernah dia alami sebelumnya. Contohnya, saat kita mengenali teman di jalan atau mendengar lagu yang akrab di radio.

Dilansir dari Psychologicalscience, Kamis (14/4/2016), otak berfluktuasi di antara dua jenis memori pengenalan, yaitu ingatan dan keakraban. Pengenalan berbasis ingatan terjadi saat seseorang bisa menentukan sebuah contoh ketika situasi saat ini telah terjadi sebelumnya. Misalnya, saat melihat seorang lelaki yang akrab di toko dan menyadari bahwa kita pernah melihat dia sebelumnya di dalam bus.

Di sisi lain, pengenalan berbasis keakraban terjadi ketika situasi saat ini terasa akrab. Namun, kita tidak ingat kapan itu terjadi sebelumnya. Contohnya, kita melihat orang asing yang dirasa akrab di sebuah toko, tetapi kita tidak bisa mengingat di mana kita tahu tentang dia. Deja vu diyakini sebagai contoh pengenalan yang berbasis perasaan akrab. Seseorang merasa yakin dia mengenal situasi tersebut, tetapi tidak yakin apa alasannya.

Clearly melakukan percobaan pengujian yang berbasis pengenalan akrab tersebut. Dalam penelitian tersebut, peserta diberikan daftar nama selebriti. Setelah itu, mereka ditunjukkan koleksi foto selebriti, beberapa foto berhubungan dengan nama di dalam daftar, sementara foto lain tidak berhubungan.

Para relawan diminta mengidentifikasi selebriti dalam foto-foto tersebut, dan menunjukkan seberapa besar kemungkinan nama-nama selebriti berada di daftar yang mereka lihat sebelumnya. Hasil temuan ini mengejutkan para ilmuwan.

Bahkan saat para responden tidak bisa mengidentifikasi selebriti lewat foto, mereka memiliki perasaan atas nama yang mereka pelajari sebelumnya dan nama yang tidak. Artinya, mereka tidak bisa mengidentifikasi sumber keakraban mereka dengan selebriti, tapi tahu selebriti itu tidak asing bagi mereka.

Cleary lalu mengulangi percobaan menggantinya dengan tempat-tempat terkenal seperti Stonehenge dan Taj Mahal untuk selebritis dan mendapat hasil yang serupa. Temuan ini menunjukkan, peserta menyimpan sedikit memori, tetapi itu kabur, sehingga mereka tidak bisa menghubungkannya ke pengalaman baru.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang merasa akrab saat ditampilkan fragmen visual yang mengandung bentuk geometris dari pengalaman sebelumnya. Ini artinya, bentuk-bentuk geometris yang akrab dapat menciptakan perasaan bahwa seluruh adegan baru tersebut pernah dia lihat sebelumnya.

Temuan ini mendukung gagasan bahwa peristiwa dan episode yang dialami seseorang disimpan dalam memori sebagai elemen individu atau fragmen dalam peristwa tersebut. Clearly menyimpulkan bahwa teori pengenalan berbasis rasa akrab dan metode leboratorium sangat berguna sebagai dasar proses deja vu.

Ingatan manusia (Thinkstock)
Ingatan manusia (Thinkstock)

Studi lain dengan menggunakan functional MRI (fMRI) mengungkapkan bahwa ketika orang membedakan perasaan keakraban dari wajah baru, perubahan aktivitas otak terjadi di daerah lobus temporal yang disebut korteks peririnal. Sebaliknya, daerah terdekat yang disebut korteks parahippocampal menunjukkan perubahan aktivitas ketika orang membedakan bangunan yang terasa akrab dari bangunan-bangunan yang baru pertama kali ia lihat.

Dengan demikian, deja vu untuk wajah mungkin merupakan hasil dari pesan yang dikirim dari korteks peririnal, sedangkan deja vu untuk tempat mungkin berasal dari pesan yang disampaikan dari korteks parahippocampal. Kedua wilayah otak ini mengirimkan informasi mereka ke hippocampus, yaitu daerah otak yang bertanggung jawab untuk ingatan. Jadi, deja vu mungkin mencerminkan kombinasi konvergensi sinyal dari kedua wilayah peririnal dan parahippocampal ke hippocampus.

Deja vu juga bisa terjadi dengan beberapa prediktabilitas gangguan kejiwaan, termasuk kecemasan, depresi, gangguan disosiatif, dan skizofrenia. (tom)

Bagikan:

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.