Melihat kondisi Jakarta sekarang ini, mungkin banyak yang menilai negatif. Lalu lintasnya macet. Sementara muara Ciliwung tampak kotor, kehitaman dan berbau. Padahal, sebelum berubah menjadi Jakarta, Batavia dikenal memiliki keindahan yang konon katanya melebihi keindahan Belanda.
Couperus, seorang pendatang dari Belanda, begitu turun dari kapal di pelabuhan Sunda Kalapa pada 1815 menyaksikan bahwa Batavia yang sebelumnya mendapat predikat â??Ratu dari Timurâ?? telah berubah seolah-olah merupakan kota hantu.
Lalu dia menjelajahi Princenstraat yang kini telah menjadi Jalan Cengkeh, sebelah utara Kantor Pos, Jakarta Kota. Dia mendapati beberapa gedung di kota tua telah dihancurkan rata dengan tanah termasuk Istana Gubernur Jenderal, gedung yang cukup megah ketika itu.
Dilansir jadiBerita dari berbagai sumber, penghancuran itu dilakukan Gubernur Jenderal Willem Herman Daendels pada 1808 ketika memindahkan pusat kota ke Weltevreden (Gambir dan Lapangan Banteng) yang jaraknya sekitar 15 km selatan kota tua. Pemindahan dilakukan karena pusat kota di tepi pantai itu telah menjadi sarang penyakit. Ada yang menyebutkan â??kuburanâ?? orang Belanda.
Padahal, sebelumnya Princenstraat dengan jalannya yang memanjang merupakan daerah elit orang-orang Belanda. Di sini terdapat gedung-gedung mewah yang merupakan bagian kota Batavia yang paling indah.
â?Mereka membangun rumah-rumah di tepi parit dan kanal Tigergrach (kanal harimau), berpagar tanaman rapi berupa pohon kenari di kiri kanan, melebihi segala-galanya yang pernah saya lihat di Holland (Belanda),â? tulis Couperos.
Menurut Bernard Dorleans dalam buku “Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad ke-XVI s/d Abad XX”, pada 1815 Batavia hanya berpenduduk 47 ribu jiwa dan pada akhir abad ke-19 sebanyak 116 ribu jiwa. Artinya, Ibu Kota Hindia Belanda ini bernuansa pedesaan bila dibandingkan dengan kota industri dan pelabuhan Surabaya yang berpenduduk 147 ribu jiwa dan berirama hidup lebih cepat. Dengan nuansa pedesaan, jelas pemandangan alamnya terlhat lebih menonjol daripada sekarang.
Konings Plein yang oleh warga Betawi disebut Lapangan Gambir dan Lapangan Ikada pada masa Jepang (kini Lapangan Monas), mungkin merupakan lapangan paling luas di dunia, lebih luas dari lapangan Santo Pietro di Vatikan tempat Paus bertatap muka dengan para jamaah Katolik. Juga lebih luas dari Tian An Men di Beijing dan Lapangan Merah di Moskow.
Apakah Jakarta nantinya bisa kembali mendapatkan keindahan yang pernah dimilikinya dulu? Semoga saja. (tom)