Kisah Henk Ngantung, Gubernur DKI Jakarta Pertama dari Kalangan Seniman

Dalam sejarahnya, Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta tidak hanya pernah dipimpin oleh gubernur yang berasal dari kalangan militer atau politisi. Provinsi yang menjadi pusat pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini ternyata juga pernah dipimpin oleh seorang seniman pelukis, meskipun masa pemerintahannya sangat singkat. Sang seniman itu bernama Hendrik Hermanus Joel Ngantung atau akrab dipanggil Henk Ngantung. Berikut kisahnya seperti dilansir jadiBerita dari Berdikarionlinecom, Jumat (20/1/2017).

Henk Ngantung lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada 1 Maret 1921. Orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda. Ia mulai melukis sejak usia 13 tahun, dan mulai memperdalam ilmu melukisnya pada tahun 1937 ketika ia menetap di Bandung, Jawa Barat.

Salah satu guru melukisnya adalah pelukis terkenal asal Austria, Rudolf Wengkart. Kejeniusannya di bidang seni lukis dibuktikannya ketika menggelar pameran lukisan tunggal di Manado, pada tahun 1936, atau ketika umurnya masih 15 tahun. Hal ini menunjukkan betapa besarnya bakat seni lukis yang ada dalam dirinya.

Henk Ngantung (Wikipedia)

Menjelang penyerbuan Jepang ke Indonesia, Henk hijrah ke Jakarta dan rutin mengikuti pameran lukis terutama sejak lembaga Bataviasche van Kunstkringen berdiri. Selain mengikuti pameran bersama kawan-kawannya, Henk juga sering mengadakan pameran tunggal. Salah satunya adalah pameran tunggal di hotel Des Indes, Jakarta, tahun 1948. Kelak, lukisan Henk yang kebanyakan bernuansa realis menarik minat Bung Karno. Sampai-sampai Presiden pertama RI itupun menjadikan beberapa karya Henk sebagai bagian dari koleksi lukisannya.

Henk juga dikenal sebagai pelukis yang mengilustrasikan berbagai peristiwa sejarah penting di Republik ini dalam bentuk lukisan sketsa. Beberapa peristiwa sejarah tersebut antara lain Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville. Sebagian lukisan sketsa bersejarah ini didokumentasikan dalam buku â??Sketsa-Sketsa Henk Ngantung dari Masa ke Masaâ?, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.

Lukisan Mengungsi karya Henk Ngantung (Lukisan Maestro)

Selepas revolusi kemerdekaan, Henk tetap bergerak di bidang seni lukis dengan menjadi guru pembimbing pelajaran seni bagi beberapa mahasiswa tanpa dibayar. Di samping itu, ia juga sering berpartisipasi pada misi-misi kebudayaan dan pameran lukis di luar negeri.

Pada tahun 1960, Henk dipilih oleh Bung Karno menjadi Wakil Gubernur (Wagub) mendampingi  Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Sumarno. Penunjukan dirinya sebagai Wagub tersebut diprotes oleh para anggota Dewan Kota. Mereka menganggap Henk tidak layak menduduki jabatan itu. Namun Bung Karno tetap teguh pada keputusannya, karena ia menginginkan Jakarta tumbuh sebagai kota seni dan budaya, dan Henk dianggap sesuai dengan kualifikasi itu.

Henk Ngantung (Indo Headline)

Meski ada sebagian pihak yang memprotesnya, namun pengangkatan Henk sebagai Wagub DKI didukung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI). Hal ini disebabkan ketika itu Henk telah bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), sebuah organisasi kebudayaan yang berafiliasi pada PKI. Bahkan ia pun pernah menjabat Wakil Sekjen Lekra.

Menyikapi hal ini, istri Henk, Evelyn Mamesah pun mengemukakan pendapatnya. â??Bergabungnya pak Henk ke Lekra semata-mata karena kecintaannya terhadap seniâ?, ungkapnya. Sementara menurut Iwan Simatupang, sastrawan asal Sibolga yang pada masa itu mengambil sikap anti komunis, menganggap bergabungnya Henk ke Lekra karena persahabatan Henk dengan Njoto, tokoh PKI yang juga pendiri Lekra.

Pada masa Henk menjabat sebagai Wagub DKI itulah, ia merancang monumen dan simbol yang hingga kini menjadi ciri khas  kota Jakarta, seperti Tugu Selamat Datang dan lambang DKI Jakarta. Pembangunan Tugu Selamat Datang tak terlepas  dari digelarnya pesta olahraga Asian Games pada tahun 1962. Ternyata, Henk telah memiliki konsep tentang  simbol tersebut jauh sebelum digelarnya event itu. Henk telah memiliki lukisan sketsa sepasang pemuda-pemudi yang sedang melambaikan tangannya, seperti sedang menyambut kedatangan tamu. Sehingga ketika Bung Karno meminta untuk dibangunkan sebuah tugu penyambutan di depan Hotel Indonesia, Henk segera mengajukan konsep tersebut, dan Bung Karno pun menyetujuinya.

Pada tahun 1964, Henk diangkat sebagai Gubernur DKI Jakarta menggantikan Sumarno yang ditunjuk sebagai Menteri Dalam Negeri oleh Bung Karno. Namun, masa jabatannya sangat singkat, yakni 1 tahun. Hal ini dikarenakan meletusnya peristiwa Gerakan Satu Oktober (Gestok) pada tahun 1965.

Henk Ngantung dan Presiden Sukarno (Indonesian Visual Art Archive)

Tragedi Gestok 1965 membuat alur hidup Henk dan keluarga berubah drastis. Kedekatannya dengan Bung Karno serta keanggotaannya di Lekra membuat Henk digolongkan sebagai  pejabat â??kiriâ?? yang harus disingkirkan oleh pihak penguasa militer pasca Gestok.

Seperti halnya beberapa Gubernur dari provinsi lainnya di Indonesia yang diberhentikan, bahkan ada yang diculik hanya karena kedekatannya dengan Bung Karno serta didukung PKI, begitu pun nasib Henk. Ia diberhentikan dari jabatan sebagai Gubernur DKI Jakarta setelah peristiwa Gestok. Namun, pemberhentian itu bukanlah akhir dari penderitaan Henk sekeluarga.

Stigma PKI yang cukup â??mematikanâ?? pada era Orde Baru membuat Henk tidak mendapatkan uang pensiun dan hak-hak sipil selayaknya warga negara lainnya. Tatkala kesehatannya memburuk dan matanya hampir buta karena penyakit glaukoma, Henk tetap tidak mudah untuk menjalani pengobatan karena pihak rumah sakit enggan berurusan dengan Henk yang â??PKIâ??.

Tak hanya itu, ketika anak-anak Henk ingin kuliah dan bekerja pun dipersulit dengan stigma â??anak PKIâ??. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1991, Henk tidak memperoleh penghargaan selayaknya mantan pejabat negara yang telah berjasa bagi Jakarta dan Republik ini. (tom)

Written by Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

Evita Nuh, Fashion Blogger Muda Asal Palembang yang Mendunia

Tanpa Disadari, Ini 5 Tanda Kalau Kamu Orang Egois