Banyak orang yang mengatakan kalau cinta itu penuh dengan misteri dan sulit untuk dijelaskan. Padahal, nyatanya para ilmuwan bisa meneliti tentang rasa cinta itu. Rasa cinta sebenarnya bukan seperti ilmu sihir, melainkan hanya merupakan reaksi kimia (hormon) di otak kita. Pemahaman saintifik mengenai cinta menyatakan bahwa ada 3 fase terkait cinta dengan reaksi hormon yang berbeda pada tiap fase. Berikut penjelasan tiap fasenya, seperti dilansir dari Rofalinacom, Senin (9/2/2015).
Fase pertama adalah fase nafsu. Pertama kali bertemu dan mengenal seseorang, ada rasa suka, ketertarikan, dan getaran. Inilah yang disebut nafsu. Nafsu dikendalikan oleh hormon testosteron dan estrogen. Jangan salah kira, testosteron bukanlah hormon eksklusif yang hanya ada pada pria. Testosteron juga diproduksi di tubuh wanita dan memainkan peran pada sex drive (dorongan seksual) wanita.
Berikutnya ada fase Passionate/Romantic Love alias cinta romantis. Dari rasa ketertarikan, pedekate pun mulai digencarkan, hubungan mulai dijalani. Segala aktivitas baru dan pertama kali dilakukan dengannya. Kita mabuk kepayang bersamanya. Segala yang dilakukan bersamanya menjadi lebih indah. Pada fase ini, otak kita akan dibanjiri dengan berbagai hormon kesenangan (pleasure hormones). Untuk konteks cinta, hormon-hormon ini disebut juga ini hormon romantis, seperti adrenalin, serotonin, dan dopamin.
Tahap awal menjalin hubungan dengan seseorang akan meningkatkan kadar adrenalin pada darah seperti saat kita melakukan aktivitas yang menantang dan menegangkan. Adrenalin pada orang jatuh cinta akan memberikan efek, seperti tiba-tiba berkeringat, mulut tiba-tiba kering, atau jantung berdegup kencang ketika bersama dengannya.
Sementara itu, dopamin memicu sensasi kesenangan yang intens. Efek yang ditimbulkan sama dengan efek jika otak dalam pengaruh kokain. Orang yang sedang jatuh cinta tidak jauh berbeda dengan pecandu narkoba. Efek dari dopamin adalah energi meningkat, berkurangnya kebutuhan untuk tidur dan makan, pikiran selalu terfokus dan senang memikirkan tiap detil kecil yang dijalani dalam hubungan.
Kemudian ada hormon serotonin. Penelitian menunjukkan, efek kimia yang ditimbulkan serotonin mirip dengan penampakan otak orang obsessive-compulsive disorder (OCD). Hal ini dapat menjelaskan ketika kita tergila-gila pada seseorang, kita tidak bisa memikirkan orang lain, ia selalu muncul di pikiran kita.
Di fase ketiga, ada fase yang dinamakan Compassionate Love atau cinta penuh kasih. Mulainya fase ini dipicu oleh dilepasnya hormon oksitosin di dalam tubuh. Hormon ini biasa disebut sebagai cuddle hormone (hormon pelukan) atau love hormone (hormon cinta). Produksi oksitosin dipicu ketika adanya sentuhan fisik dengan pasangan, seperti berpelukan, pijatan penuh cinta, atau berciuman. Oksitosin menimbulkan efek emosional terhadap pasangan, berupa kasih sayang, keterikatan, rasa peduli, cinta, rasa damai, rasa aman, hingga perasaan bahagia, khususnya setelah berhubungan seks. Riset mengatakan, semakin sering melakukan hubungan intim dengan pasangan, semakin dalam ikatan yang terbentuk. Ikatan yang dibentuk oleh produksi oksitosin mendorong dua sejoli untuk tetap bersama.
Hormon lain yang berperan dalam komitmen jangka panjang adalah vasopresin. Vasopresin biasa disebut sebagai hormon monogami (setia pada satu orang). Vasopresin yang dirilis setelah melakukan hubungan seksual dengan pasangan berperan signifikan dalam menciptakan keinginan untuk setia dengan pasangan, menciptakan perasaan untuk melindungi (bahkan cemburu) pasangan dan keturunan.
Para ilmuwan melakukan penelitian pada pasangan yang berhasil membina hubungan dan tetap romantis selama puluhan tahun. Mereka menemukan bahwa walaupun oksitosin dan vasopresin adalah hormon yang awalnya membentuk ikatan antara dua individu, tapi dopamin lah yang menyegarkan romansa tersebut hingga bertahun-tahun ke depan. Segala kegiatan baru yang membangkitkan kembali getaran akan meningkatkan kadar dopamin yang kemudian memicu timbulnya kembali perasaan romantis.
Lakukan hal-hal baru dan menantang dengan pasangan. Rutinitas memang perlu tapi tetap penting untuk menyisipkan hal baru di tengah rutinitas. Berkolaborasi dengan pasangan agar terus menghasilkan kegiatan baru, saling menantang, dan sama-sama meningkatkan kualitas diri. Pahami bahwa cinta perlu senantiasa dirawat. (tom)