Serat Centhini: Antara Syahwat, Pengabdian dan Keraton

Jowant

Jadi Berita mengabarkan – Kisah ini bermula saat Pangeran Anom Amengkunegara III memerintahkan tiga pujangganya, Sastranagara, Sastradipura, dan Ranggasutrasna, untuk menyusun sebuah cerita berbentuk tembang yang merangkum segala ilmu Jawa dan seni kehidupan yang menjiwai masyarakatnya. Pangeran Anom sendiri adalah putera mahkota Kesultanan Surakarta Adiningrat di Jawa Tengah.

serat centini

Pangeran Anom memberi mereka uang dan menyuruh masing-masing mengembara ke berbagai wilayah untuk mengumpulkan bahan penulisan. Mulai dari Indonesia sampai ke Mekah, semua kearifan sekaligus penyimpangannya perilaku masyarakat dicatat. Misalnya perangkap syahwat dan roh para pertapa, dalang, juru kunci, penyamun, perempuan, petani, ulama, sampai kaum paria.

Tembang yang terdiri dari ribuan syair itu pada awalnya berjudul â??Suluk Tambangrarasâ?. Namun kemudian lebih populer dengan nama â??Serat Centhiniâ?. Penulisannya dimulai pada tahun 1809 Masehi. Serat Centhini ditulis untuk ditembangkan atau dinyanyikan. Penyair sastra Jawa Kuno ini dengan gemilang berhasil menyesuaikan macapat, irama dan nada kata menjadi terdengar indah dan merdu.

Di dalam tembang sebanyak 12 seri ini, serat Centhini tidak terkesan tabu dan menjadi sebuah aib karena kepintaran menyusun kalimat indah. Menurut salah seorang penerjemah Serat Centhini yang bernama Elizabeth Inandiak, Serat Centhini ibarat perpaduan antara lumpur dan emas. Inilah yang memberikan sentuhan khas dan tidak bisa ditemui di berbagai syair lainnya.

Tingkat kerohanian yang tinggi dan hasrat syahwat yang terlalu bejat dalam tembang itu yang menyebabkan suluk ini lama sekali tidak pernah diterjemahkan ataupun dipublikasikan. Bagi beberapa ahli Jawa, Serat Centhini adalah karya yang terlalu suci dan tidak mengandung aib untuk diterjemahkan. Sebaliknya bagi sebagian sastrawan lain dianggap terlalu kotor dan tabu untuk dibicarakan. Hal ini disebabkan oleh adat Jawa yang melarang pembicaraan seks secara terbuka.

Serat Centhini terdiri dari 722 pupuh. Salah satu bagian yang istimewa dan mengandung ajaran sufisme adalah pupuh yang mengisahkan pengantin baru yang bernama Amongraga dan Tambangraras. Mereka berdua melewatkan 40 malam dalam kamar pengantin tanpa bersetubuh. Dikisahkan bahwa selama 40 malam Tambangraras berzikir dan diam. Namanya sendiri berarti tembang (tambang) yang merdu (raras).

Pertanyaan yang sering terlontar adalah mengapa suluk yang dinamai dirinya kemudian menjadi Serat Centhini? Usut punya usut, ternyata Centhini adalah nama seorang abdi dalem yang setia pada majikan dan tidak lelah mengabdi menjaga tuannya di bawah ranjang pengantin. Ia seolah melupakan dirinya sendiri dan begitu mengabdi pada para junjungannya, sehingga dia melebur menjadi suluk itu sendiri.

Bagikan:

Jowant

Journalist at Weekend @jdbrta