Sejarah Jilbab di Indonesia

Bagi wanita yang beragama Islam, tentunya mengenakan jilbab atau hijab sudah merupakan suatu kewajiban. Berbicara mengenai jilbab di Indonesia, terutama mengenai sejarahnya bukan perkara mudah. Satu hal yang pasti, seperti dilansir dari JejakIslamnet, Kamis (12/3/2015), sejak abad ke 19, pemakaian jilbab telah diperjuangkan di masyarakat. Hal itu terlihat dari sejarah gerakan Paderi di Minangkabau. Gerakan revolusioner ini, turut memperjuangkan pemakaian jilbab di masyarakat.

Ilustrasi perempuan pada masa Paderi
Ilustrasi perempuan pada masa Paderi

Kala itu, mayoritas masyarakat Minangkabau tidak begitu menghiraukan syariat Islam, sehingga banyak sekali terjadi kemaksiatan. Menyaksikan itu, para ulama paderi tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk menerapkan syariat Islam di Minangkabau, termasuk aturan pemakaian jilbab dan juga cadar.

Perempuan Minangkabau antara tahun 1908-1940
Perempuan Minangkabau antara tahun 1908-1940

Di Aceh, seperti juga di Minangkabau, di mana dakwah Islam begitu kuat, pengaruh Islam juga meresap hingga ke aturan berpakaian dalam adat masyarakat Aceh. Adat Aceh menetapkan, â??orang harus berpakaian sedemikian rupa sehingga seluruh badan sampa kaki harus ditutupi. Dari itu, sekurang-kurangnja mereka telah berbadju, bercelana, dan berkain sarung. Ketjantikan dan masuk angin sudah terdjaga dengan sendirinya. Kepalanja harus ditutup dengan selendang atau dengan kain tersendiri.

Di Sulawesi Selatan, Arung Matoa (penguasa) Wajo, yang di panggil La Memmang To Appamadeng, yang berkuasa dari 1821-1825 memberlakukan syariat Islam. Selain pemberlakuan hukum pidana Islam, ia juga mewajibkan kerudung bagi masyarakat Wajo.

Di pulau Jawa, banyaknya wanita muslim yang tidak menutupi kepala, mendorong gerakan reformis muslim menyiarkan kewajiban jilbab. Pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan aktif menyiarkan dan menyatakan bahwa jilbab adalah kewajiban bagi wanita Muslim sejak 1910-an. Ia melakukan dakwah jilbab ini secara bertahap.

Awalnya ia meminta untuk memakai kerudung meskipun rambut terlihat sebagian. Kemudian ia menyarankan mereka untuk memakai Kudung Sarung dari Bombay. Tak hanya itu, ia mendorong wanita untuk belajar dan bekerja, semisal menjadi dokter, ia tetap menekankan wanita untuk menutup aurat dan melakukan pemisahan antara laki-laki dan perempuan.

Organisasi Al Irsyad juga turut menyuarakan kewajiban jilbab bagi para wanita. Di Pekalongan, Jawa Tengah, kongres Al Irsyad telah membahas isu-isu wanita yang berjudul Wanita dalam Islam Menurut Pandangan Golongan al-Irsyad.  Salah satu hasil kongresnya menyarankan anggota wanitanya untuk menutupi kepala dan tubuh mereka kecuali wajah dan telapak tangan.

Upaya memperjuangkan jilbab tak sedikit mendapat pertentangan. Perang kata-kata melalui media massa mewarnai era 1930-40an. Majalah Aliran Baroe yang berafiliasi dengan Partai Arab Indonesia (PAI), tidak mendukung kewajiban jilbab. Majalah ini berseteru dengan beberapa pihak. Sikap PAI yang tidak mengurusi soal jilbab ini mendapat kritikan dari Siti Zoebaidah melalui majalah Al Fatch. Lewat majalah milik Aisyiyah â??organisasi perempuan yang menginduk pada Muhammadiyah- ini, Siti Zoebaidah menegaskan bahwa wajib bagi kaum muslimat memakai jilbab.

Sekolah Guru Putri. Foto diperkirakan dari tahun 1950-an
Sekolah Guru Putri. Foto diperkirakan dari tahun 1950-an

Jika pada masa sebelum kemerdekaan perjuangan jilbab diwarnai polemik di media massa, namun di orde baru perjuangan jilbab semakin berat. Perjuangan umat Islam khususnya muslimah mendapat tentangan keras dari pemerintah, khususnya pejabat dinas pendidikan dan pihak militer.

Dominasi militer ini sangat dirasakan oleh para ulama. Ruang gerak mereka untuk menyiarkan nilai-nilai agama sering kali harus berbenturan dengan pihak militer yang kerap dirasakan sebagai anti Islam. Sifat birokrasi militer yang kaku telah membuat kalangan Islam menemui kesulitan untuk memperjuangkan aspirasinya agar diterima oleh pemerintah, termasuk dalam masalah jilbab di kalangan pelajar putri.

Salah satu hal yang menggelitik  untuk dikaji lebih jauh adalah masuknya watak militerisme dalam kebijakan-kebijakan Depdikbud. Kebijakan wajibnya seragam sekolah dalam SK Dirjen Dikdasmen No.052 tahun 1982 tampaknya mengindikasikan hal itu.

Di dalam SK itu, sebenarnya tidak dilarang penggunaan jilbab oleh pelajar-pelajar muslimah di SMA-SMA Negeri, hanya saja, bila mereka ingin memakai jilbab di sekolah, maka harus secara keseluruhan pelajar putri di sekolah memakai jilbab.

Awal tahun 1980-an memang merupakan periode konflik antara Islam dan Pemerintah. Kedua pihak saling berlawanan atau konflik antara Islam dan pemerintah. Kedua pihak kerap bersitegang. Politik Pemerintah Orde Baru yang represif terhadap umat Islam turut memperkeruh persoalan ini.

Pada kasus jilbab ini, Depdikbud rupaya tidak bisa menutupi sikap curiganya terhadap siswi berjilbab. Sebagaimana pada kasus Tri Wulandari di Jember. Pihak Kodim 0824 Jember sempat memanggilnya karena dicurigai sebagai anggota Jamaah Imron. Jilbab pada saat itu dianggap sebagai perwujudan gerakan politik yang mengancam pihak pemerintah.

Berangkat dari kenyataan-kenyataan di atas, maka tidak mengherankan bila ada siswi berjilbab yang menjadi korban. Pelajar-pelajar berjilbab sampai ada yang dikeluarkan dan dipindahkan dari sekolah, diskors, dicap seperti gerakan laten PKI, diinterogasi di ruang BP, dikejar-kejar kepala â??robotâ? sekolah yang selalu berlindung di balik kalimat, â??Saya hanya melaksanakan perintah atasan.â?, kemudian dimaki-maki oleh orang tua sendiri, dan lain sebagainya.

Pada tanggal 15 Januari 1983, siswi-siswi yang berjilbab dari SMA, SMEA, dan SGA Tangerang, Bekasi, dan Jakarta juga mengajukan protes ke DPRD DKI Jakarta menuntut agar dibolehkan mengikuti pelajaran dengan tetap mengenakan pakaian muslimah.

Perjuangan pemakaian jilbab selama bertahun-tahun, yang diwarnai sikap represif aparat, pendidik dan pejabat akhirnya membuahkan hasil. Keringat, derita, stigma dan air mata demi menjaga kemuliaan wanita itu mampu mejadi pembuka jalan bagi diterimanya jilbab di Indonesia.

Bagaimana pun, bagi muslimah, pemakaian jilbab adalah proses yang melibatkan dua aspek yang saling bertalian, yaitu kesadaran pribadi sekaligus contoh di masyarakat. Semakin banyak yang berjilbab, bagaimanapun akan semakin mudah bagi muslimah lain untuk ikut memakainya. Maka para muslimah pelopor jilbab di masyarakat di masa lalu adalah para pelopor yang akhirnya menyemarakkan pemakaian jilbab di masyarakat kita saat ini. (tom)

Written by Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

Waduh, Uang Ratusan Juta Tak Sengaja Dibakar Istri

Foto USG, Bayi Pasang Pose Jari ‘Peace’