Bela diri pencak silat semakin dikenal sejak Yayan Ruhian bermain dalam film “The Raid”. Lebih bangga lagi, pencak silat adalah bela diri asli Indonesia yang kini telah mendunia. Lalu bagaimana sejarahnya hingga bisa tercipta bela diri ini? Berikut jadiBerita paparkan sejarahnya, seperti dilansir dari berbagai sumber.
Istilah Silat sendiri sudah dikenal oleh masyarakat Asia Tenggara, mulai dari Indonesia, Malaysia, Brunei, Singapura, Thailand dan Filipina. Di Indonesia, istilah “Pencak” banyak dipergunakan di daerah Jawa, sedangkan “Silat” digunakan di Sumatera, Semenanjung Malaya dan Kalimantan.
Namun demikian, dalam perkembangannya kemudian, istilah “Pencak” lebih mengedepankan unsur seni dan penampilan keindahan gerakan, sedangkan “Silat” merupakan inti ajaran bela diri dalam suatu pertarungan. Selain dari perbedaan penyebutan istilah olah raga bela diri pencak silat ini, di Indonesia juga memiliki beragam aliran pencak silat dengan ciri khas tersendiri. Misalnya di Jawa Barat, terkenal aliran Cimande dan Cikalong. Di Jawa Tengah ada aliran pencak silat Merpati Putih, sedangkan di Jawa Timur terdapat aliran pencak silat “Perisai Diri”.
Silat atau Pencak Silat diperkirakan menyebar di Kepulauan Indonesia sejak abad ke-7 Masehi. Namun demikian, asal usulnya masih belum diketahui secara pasti. Ada yang menyebutkan bahwa Kerajaan Majapahit dan Sriwijaya dulu telah dikenal memiliki pendekar-pendekar besar dan menguasai olah kanuragan atau ilmu bela diri. Selain itu bukti adanya seni bela diri dapat dilihat dari berbagai artefak senjata yang ditemukan dari masa klasik (Hindu-Budha) serta pada pahatan relief yang menggambarkan sikap kuda-kuda silat di Candi Borobudur dan Candi Prambanan.
Sementara itu, Sheikh Shamsuddin (2005), berpendapat bahwa terdapat pengaruh ilmu bela diri dari Tiongkok dan India dalam pencak silat. Hal ini karena sejak awal kebudayaan Melayu telah mendapat pengaruh dari kebudayaan yang dibawa oleh pedagang maupun perantau dari India, Tiongkok, dan mancanegara lainnya.
Awalnya, gerakan pencak silat sengaja diciptakan dalam rangka untuk melindungi dan mempertahankan diri dari tantangan alam. Namun akhirnya gerakan pencak silat justru lebih sering dimanfaatkan untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Dikarenakan tradisi silat diturunkan secara lisan dan menyebar dari mulut ke mulut, diajarkan dari guru ke murid, maka catatan tertulis mengenai asal usul silat sulit ditemukan. Sejarah pencak silat sendiri dikisahkan melalui berbagai legenda yang beragam dari satu daerah ke daerah lain.
Menurut legenda Minangkabau, silat (bahasa Minangkabau: silek) diciptakan oleh Datuk Suri Diraja dari Pariangan, Tanah Datar di kaki Gunung Marapi pada abad ke-11. Kemudian silek dibawa dan dikembangkan oleh para perantau Minang ke seluruh Asia Tenggara. Ada juga cerita rakyat mengenai asal mula silat aliran Cimande, yang mengisahkan seorang perempuan yang mencontoh gerakan pertarungan antara harimau dan monyet.
Historis dari perkembangan pencak silat mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum penyebar agama Islam di Nusantara pada abad ke-14. Ketika itu pencak silat diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau atau pesantren. Selain itu pencak silat merupakan bagian tak terpisahkan dalam upacara adat di beberapa suku. Misalnya kesenian tari Randai yang tak lain adalah gerakan silek Minangkabau.
Adat lainnya yang mengadaptasi pencak silat adalah prosesi pernikahan adat Betawi bernama tradisi “palang pintu”, yaitu peragaan silat Betawi yang dikemas dalam sebuah sandiwara kecil. Acara ini biasanya digelar sebelum akad nikah, yaitu sebuah drama kecil yang menceritakan rombongan pengantin pria dalam perjalanannya menuju rumah pengantin wanita dihadang oleh jawara (pendekar) kampung setempat yang dikisahkan juga menaruh hati kepada pengantin wanita. Maka terjadilah pertarungan silat di tengah jalan antara jawara-jawara penghadang dengan pendekar-pendekar pengiring pengantin pria yang tentu saja dimenangkan oleh para pengawal pengantin pria.
Silat lalu berkembang dari ilmu bela diri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah asing. Dalam sejarah perjuangan melawan penjajah Belanda, tercatat para pendekar seperti Panembahan Senopati, Sultan Agung, Pangeran Diponegoro, Teuku Cik Di Tiro, Teuku Umar, Imam Bonjol, serta para pendekar wanita, seperti Sabai Nan Aluih, Cut Nyak Dhien, dan Cut Nyak Meutia, menggunakan pencak silat untuk mengusir penjajah.
Seiring perkembangan zaman, silat saat ini telah diakui sebagai budaya suku Melayu khususnya yang berada di daerah pesisir pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka, serta berbagai kelompok etnik lainnya yang menggunakan lingua franca bahasa Melayu di berbagai daerah di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan pulau-pulau lain-lainnya.