Evolusi Ejaan Indonesia, dari Tempo Doeloe Hingga EYD

Hutomo Dwi

Kamu mungkin sudah tahu bahwa ejaan yang digunakan Indonesia saat ini berbeda dengan ejaan zaman dulu. Namun ternyata, ejaan yang digunakan Indonesia tak hanya ejaan lama dan EYD saja, karena ada ejaan lainnya yang sempat digunakan Indonesia. Berikut ini adalah evolusi ejaan Indonesia, seperti dilansir dari Zeniusnet, Kamis (3/11/2016).

1. Ejaan van Ophuysen (1901-1947)

Contoh ejaan van Ophuijsen (Twitter)
Contoh ejaan van Ophuijsen (Twitter)

Charles Adrian van Ophuijsen (Ch. A. van Ophuysen) merupakan tokoh penting dalam tonggak bahasa Indonesia. Ejaan Ophuijsen lahir dari niat pemerintah kolonial Belanda untuk menengahi keberagaman variasi bahasa Melayu yang ada di Nusantara saat itu, sekaligus memudahkan Belanda menyebarkan kekuasaan di daerah kolonisasinya. Ciri dari ejaan ini adalah penggunaan huruf ‘J’ yang dibaca ‘Y’ (jang=yang), huruf ‘OE’ yang dibaca ‘U’ (beloem=belum), huruf ‘TJ’ yang dibaca ‘C’ (tjara=cara), huruf ‘CH’ yang dibaca ‘KH’ (achir=akhir).

2. Ejaan Republik atau Ejaan Soewandi  (1947-1972)

Soewandi (Zenius)
Soewandi (Zenius)

Ejaan ini disebut sebagai Ejaan Soewandi karena diresmikan tanggal 17 Maret 1947 oleh Menteri, Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan saat itu, yaitu Raden Soeawandi, menggantikan ejaan Ophuijsen. Sebenarnya nama resminya adalah ejaan Republik, namun lebih dikenal dengan ejaan Soewandi. Ciri dari ejaan ini sudah mirip seperti ejaan sekarang, yaitu mengganti huruf ‘OE’ menjadi ‘U’. Ciri lainnya adalah kata ulang menggunakan angka 2 (jalan2, tiba2), awalan ‘di-‘ dan kata depan ‘di’ disamakan (disekolah, dirumah, dijual).

3. Ejaan Pembaharuan atau Ejaan Priyono (1957)

Priyono (Zenius)
Priyono (Zenius)

Ejaan Pembaharuan ini dibuat dengan maksud menyempurnakan Ejaan Soewandi dan juga disebut dengan Ejaan Prijono-Katoppo. Meskipun salah satu putusan kongres menyatakan supaya ejaan itu ditetapkan undang-undang, ejaan ini urung diresmikan. Meskipun demikian, ejaan ini disinyalir menjadi pemantik awal diberlakukannya EYD tahun 1972. Ejaan ini membuat standar satu fonem dengan satu huruf (misalnya menyanyi: menjanji menjadi meñañi). Untuk kata-kata berdiftong ‘ai’, ‘au’, dan ‘oi’ seperti ‘sungai’, ‘kerbau’, dan ‘koboi’ akan dieja dengan ‘sungay’, ‘kerbaw’, dan ‘koboy’.

4. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Indonesia dan Malaysia (Rayapos)
Indonesia dan Malaysia (Rayapos)

Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia, maka mulailah ada keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu ini untuk menyatukan ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957 dan kita pun menandatangani kesepakatan untuk membicarakan ejaan bersama tahun 1959-nya. Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas (Indonesia sedang condong ke poros Moskow-Peking-Pyongyang, sedangkan Malaysia yang condong ke Inggris), akhirnya ditangguhkan dulu pembahasannya. Hal lain yang membuat ejaan ini kurang mendapat perhatian adalah perubahan huruf-huruf yang dianggap aneh, hingga akhirnya ejaan ini ditinggalkan.

5. Ejaan Baru atau Ejaan LBK

Gedung Pusat Bahasa (Wikipedia)
Gedung Pusat Bahasa (Wikipedia)

Sebelum adanya EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (sekarang bernama Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan ini, sebenarnya estafet dari ikhtiar yang sudah dirintis oleh panitia Ejaan Melindo. Anggota pelaksananya pun terdiri dari panitia ejaan dari Malaysia. Pada intinya, hampir tidak ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-kaidah saja.

6. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

EYD (Google Play)
EYD (Google Play)

Ejaan ini diresmikan sejak 16 Agustus 1972 oleh Presiden Suharto. Sejak itulah, muncul perubahan signifikan pada ejaan kita hingga saat ini. Semua kop surat beserta amplop, kartu nama, papan jalan, papan nama kantor dan toko, mulai dari Sabang sampai Merauke diganti dan menyesuaikan diri. Ejaan ini telah melalui proses panjang. Seperti disebutkan di atas, sebelum EYD ada Ejaan Pembaharuan (1957), dilanjutkan dengan Ejaan Melindo (1959) yang akhirnya batal lagi karena Presiden Sukarno menyerukan Ganyang Malaysia. Hal ini kemudian diperburuk dengan peristiwa kudeta 30 September 1965. Kondisi ekonomi kita parah, politik dan keamanan yang buruk. Tentu maklum kalau urusan bahasa menjadi ditangguhkan dulu. Mulai Mei 1966, urusan ejaan dibuka kembali dan kepanitiaan diketuai oleh pendekar bahasa Indonesia, Anton Moeliono.

Meskipun ejaan ini rampung setahun sesudahnya, dan telah dirundingkan dengan Malaysia (karena sejak 1959 memang kita sudah bersepakat buat menyamakan ejaan), tapi lagi-lagi ejaan ini urung diluncurkan. Ejaan ini mendapatkan kritik karena isu politis, alih-alih linguistis. Namun, setelah Mendikbud kala itu mengeluarkan SK tahun 1972 barulah ejaan ini dapat melenggangkan diri ke permukaan. Di negeri jiran sendiri, namanya bukan EYD tapi ERB (Ejaan Rumi Baru Bahasa Malaysia). (tom)

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.