Bioskop untuk Para Tuna Netra

Admin Post

Maroko menjadi negara di Afrika yang kini memimpin penggunaan teknologi bioskop untuk kaum tuna netra ini. Sebentuk suara akan berbunyi “sepanjang” film untuk mendampingi penontonnya mendapat pengalaman lengkap di bioskop.

“Kami adalah satu-satunya negara di Afrika dan dunia Arab yang menawarkan kesempatan ini pada tuna netra,” kata Nadia el-Hansali dari Yayasan Marrakesh International Film Festival.

Yayasan ini menjadi penyelenggara festival film tahunan dan juga menyajikan film-film yang sudah diolah dengan audio yang menjelaskan jalannya adegan untuk kelompok dengan penglihatan bermasalah selama dua tahun terakhir. Yayasan ini juga menjadi sumber dana proses pengadopsian transfer film biasa pada film untuk kelompok buta.

Kini baru ada delapan film yang diimbuhi deskripsi audio, termasuk L’Atlante (1934), The African Queen (1951) dan East of Eden (1955).

Dalam 18 bulan mendatang, dijadwalkan enam judul film lain juga akan diadaptasi.

“Idenya sangat hebat,” kata Aziz Bouallouchen, seorang tuna netra asal Marrakesh. “Saya sudah absen nonton film sejak menderita sakit yang kemudian merampas penglihatan.”

Dengan mengenakan headphone yang disambungkan pada alat penerima kecil yang ada di dudukan lengan kursinya, Bouallouchen mendengarkan sebuah suara menuntunnya mengikuti jalan cerita adegan demi adegan, lagak gaya para aktor, pemandangan dalam plot film itu serta “saat-saat pergantian adegan” yang kerapkali sangat berarti bagi pemahaman sebuah film.

“Kini saya bisa merasakan dunia bisokop lagi,” tambahnya riang.

Pengalaman menyenangkan ini dirasakan sebagian orang buta yang baru pertama nonton di bioskop.

Film yang ditonton Bouallouchen dibintangi Lalla Hoby, seorang komedian populer asal Moroko bercerita tentang seorang pria yang menyeberangi Selat Gibraltar untuk mencari sitri yang meninggalkannya demi laki-laki lain dan hidup di Belgia.

Film ini sudah dibuat tahun 1996 dan menjadi satu-satunya film asal Afrika Utara yang sudah diadaptasi untuk dibubuhi deskripsi audio.

Nadia el-Hansali yang menulis cerita yang dibacakan artis sulih suara sebagai deskripsi sepanjang film.

Teksnya harus sangat tepat, dimana audio-nya pas memenuhi ruang yang tersedia antara dialog para aktor dalam film.

“Kami telah memperhitungkan apa saja yang harus disuarakan dan apa yang benar-benar penting untuk memahami isi film ini,” kata perempuan ini.

“Saya menghindari pembubuhan terlalu banyak informasi yang hanya akan membingungkan mereka yang kesulitan memandang layar.”

Mohamed Doukkali adalah seorang dosen mata kuliah filosofi di Universitas Rabat di ibukota Maroko.

Selama ini untuk menonton film, pria berambut putih ini menggunakan DVD di rumah, yang dilengkapi dengan sebuah komputer yang diadaptasi khusus untuk kebutuhannya sehari-hari.

Doukkali mengaku sebagai “pecinta sinema sejati”, dan kini merasa sangat gembira mendapat kesempatan menonton film bioskop sesungguhnya.

“Berkat suara yang mendeskrepsikan apa yang terjadi di layar kami bisa mengira-ngira bagailmana jalannya adegan yang kami tak bisa sebelumnya,” katanya.

“Jauh lebih menyenangkan menonton film bersama para penonton lain, karena memang itu kan intinya pengalaman ke bioskop.”

Bagikan:

Admin Post

I am not just a blogger, I am a professional procrastinator with a knack for oversharing. My hobbies include drinking coffee, taking pictures of my food, and pretending I have my life together.