Becak lebih dianggap sebagai masalah ketimbang sebagai sarana transportasi jarak dekat yang membantu masyarakat. Hingga tahun 1985, jumlah becak yang beroperasi di Jakarta mendekati 40.000 unit, dan hanya 7.828 unit yang memiliki izin.
Keadaan tersebut merisaukan pemerintah daerah DKI Jakarta. Pada masa kepemimpinan Gubernur Wiyogo Atmodarminto, dibentuk Tim Penyelesaian Masalah Becak. Tim ini menggagas ide mengganti becak dengan moda transportasi alternatif. Pada 1990, 500 kendaraan roda tiga bermesin diperkenalkan sebagai pengganti becak. Kendaraan mirip Bajaj ini berasal dari Jepang. Namanya Toyoko.
â??Kalau Bajaj persnelingnya tangan, yang ini (toyoko) pakai tongkat. Bagian belakangnya lebih lebar dibandingkan bagian depan,â? kata Muchrodji, Sekretaris Tim Penyelesaian Masalah Becak, dikutip dari Kompas, Kamis (21/7/2016).
Muchrodi mengakui bahwa Toyoko akan menambah hiruk pikuk lewat deru mesinnya. Namun, untuk sementara tidak ada cara lain. Pengoperasian Toyoko dikelola oleh koperasi.
Sembari Toyoko dipasarkan ke masyarakat, Operasi Wahana Jaya digelar untuk menertibkan becak-becak yang beroperasi di jalanan kota. Pengemudi becak yang terjaring razia, diperkenankan agar selanjutnya menarik penumpang dengan Toyoko.
Toyoko dapat diperoleh dengan harga yang relatif murah. Toyoko 100 cc dibandrol Rp 2,2 juta, sedangkan 165 cc seharga Rp 2,7 juta. â??Itupun masih bisa ditawar,â? kata Yayan S. Danuatmadja, Kakanwil Departemen Koperasi DKI Jakarta, dikutip majalah Jakarta Jakarta.
Menurut Jakarta Jakarta, Toyoko merupakan kendaraan sitaan yang sudah ada di Indonesia sejak tahun 1970-an. Bermula dari pemerintah daerah DKI Jakarta yang sedang giat-giatnya mengimpor Bajaj dan Helicak untuk meremajakan transportasi kota Jakarta. Kegiatan itu ditiru oleh seorang pedagang yang mengimpor sekitar 100 unit Toyoko dari Jepang.
Namun karena tidak memiliki izin impor, maka Toyoko itu dianggap sebagai barang selundupan. Alhasil, Toyoko tak berizin disita oleh pihak berwenang di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Melalui proses hibah, Toyoko sitaan kemudian menjadi milik Departemen Koperasi. Kanwil Departemen Koperasi kemudian menawarkan barang sitaan ini kepada pemerintah daerah DKI Jakarta. Tidak heran jika harganya murah.
Wacana untuk menghadirkan Toyoko sebagai pengganti becak menuai kontroversi. Ketua Komisi D DPRD DKI Jakarta, H. Mansyur Achmad mempertanyakan kelayakan Toyoko. Menurutnya, kendaraan roda tiga harus berbahan bakar gas, sesuai kampanye udara bersih yang digalakkan gubernur DKI Jakarta. Selain itu, kendaraan roda tiga termasuk jenis kendaraan yang tidak dikembangkan di wilayah DKI Jakarta. Peruntukannya hanya boleh di lingkungan permukiman.
Meskipun demikian, pengoperasian Toyoko tetap diizinkan oleh pemerintah daerah DKI Jakarta. Uniknya, di belakang badan toyoko ditulis kata â??sadarâ?. Kata ini ditujukan kepada mantan pengemudi becak yang telah insaf karena beralih ke Toyoko. Pemerintah daerah DKI Jakarta mengharapkan kehadiran Toyoko mampu memancing Bajaj pindah dari pusat kota dan berpindah wilayah operasi ke kompleks permukiman.
Namun, setelah setahun beroperasi, Toyoko tidak dapat menjawab persoalan lalu lintas kota Jakarta. Pengemudi Toyoko malah beroperasi di jalan-jalan pusat kota, berbaur dengan kawanan Bajaj. Tidak ada ubahnya Toyoko dan Bajaj. Mereka melintasi kawasan utama ibukota seperti Salemba, Tanah Abang, dan beberapa jalan di Jakarta Barat. â??Sekumpulan kendaraan roda tiga itu bisa dengan tenang beroperasi dijalanan tanpa ditindak petugas karena melakukan pelanggaran,â? tulis Kompas.
Hingga memasuki paruh kedua tahun 1990, deru bising Toyoko telah menghilang dari jalanan Jakarta. Pemutusan izin usaha, dampak polusif, dan kerusakan suku cadang menjadi penyebabnya. Hingga kini, becak masih ditemui mangkal di tiap sudut kota, berbeda dengan nasib Toyoko yang kini tinggal nama. (tom)