Bukan dari Barat, Kacamata Ternyata Dibuat dari Peradaban Muslim

Hutomo Dwi

Pada zaman berteknologi maju seperti sekarang ini, tentu lebih banyak orang yang berkutat dalam bidang digital. Namun hal ini berimbas pada kesehatan mata, karena mereka lebih sering berada di depan layar atau monitor. Untuk membantu penglihatan, maka dibutuhkanlah benda yang namanya kacamata.

Kacamata merupakan salah satu penemuan terpenting dalam sejarah kehidupan umat manusia. Setiap peradaban mengklaim sebagai penemu kacamata. Akibatnya, asal-usul kacamata pun cenderung tak jelas dari mana dan kapan ditemukan.

Namun, sepertinya teka-teki mengenai siapa penemu kacamata bakal terjawab. Lutfallah Gari, seorang peneliti sejarah sains dan teknologi Islam dari Arab Saudi mencoba menelusuri rahasia penemuan kacamata secara mendalam. Ia mencoba membedah sejumlah sumber asli dan meneliti literatur tambahan.

Lutfallah Gari (Muslimheritage)
Lutfallah Gari (Muslimheritage)

Investigasi yang dilakukannya itu membuahkan sebuah titik terang. Ia menemukan fakta bahwa peradaban Muslim di era keemasan memiliki peran penting dalam menemukan alat bantu baca dan lihat itu.

Lewat tulisannya bertajuk “The Invention of Spectacles between the East and the West”, yang dikutip dari Muslimheritage, Selasa (22/11/2016), Lutfallah mengungkapkan, peradaban Barat kerap mengklaim sebegai penemu kacamata. Padahal Sahabat anehdidunia.com, jauh sebelum masyarakat Barat mengenal kacamata, peradaban Islam telah menemukannya. Menurut dia, dunia Barat telah membuat sejarah penemuan kacamata yang kenyataannya hanyalah sebuah mitos dan kebohongan belaka.

�Mereka sengaja membuat sejarah bahwa kacamata itu muncul saat Etnosentrisme,� papar Lutfallah.

Menurut dia, sebelum peradaban manusia mengenal kacamata, para ilmuwan tdari berbagai peradaban telah menemukan lensa. Hal itu dibuktikan dengan ditemukannya kaca.

Lensa juga dikenal pada beberapa peradaban seperti Romawi, Yunani, Hellenistik dan Islam. Berdasarkan bukti yang ada, lensa-lensa pada saat itu tidak digunakan untuk magnification (perbesaran), tapi untuk pembakaran. Caranya dengan memusatkan cahaya matahari pada fokus lensa/titik api lensa.

Oleh karena itu, mereka menyebutnya dengan nama umum â??pembakaran kaca/burning mirrorsâ?. â?Hal ini juga tercantum dalam beberapa literatur yang dikarang sarjana Muslim pada era peradaban Islam,â? tutur Lutfallah. Menurut dia, fisikawan Muslim legendaris, Ibnu al-Haitham (965 M-1039 M), dalam karyanya bertajuk “Kitab al-Manazir” (tentang optik) telah mempelajarai masalah perbesaran benda dan pembiasan cahaya.

Ibnu al-Haitham (Artmajeur)
Ibnu al-Haitham (Artmajeur)

Ibnu al-Haitam mempelajari pembiasan cahaya melewati sebuah permukaan tanpa warna seperti kaca, udara dan air. â??Bentuk-bentuk benda yang terlihat tampak menyimpang ketika terus melihat benda tanpa warnaâ?. Ini merupakan bentuk permukaan seharusnya benda tanpa warna,â? tutur al-Haitham seperti dikutip Lutfallah.

Inilah salah satu fakta yang menunjukkan betapa ilmuwan Muslim Arab pada abadke-11 itu telah mengenali kekayaan perbesaran gambar melalui permukaan tanpa warna. Namun, al-Haitham belum mengetahui aplikasi yang penting dalam fenomena ini. Buah pikir yang dicetuskan Ibnu al-Haitham itu merupakan hal yang paling pertama dalam bidang lensa.

Paling tidak, peradaban Islam telah mengenal dan menemukan lensa lebih awal tiga ratus tahun dibandingkan Masyarakat Eropa. Menurut Lutfallah, penemuan kacamata dalam peradaban Islam terungkap dalam puisi-puisi karya Ibnu al-Hamdis (1055 M- 1133 M). Dia menulis sebuah syair yang menggambarkan tentang kacamata. Syair itu ditulis sekitar200 tahun, sebelum masyarakat Barat menemukan kacamata. Ibnu al-Hamdis menggambarkan kacamata lewat syairnya antara lain sebagai berikut:

Ibnu al-Hamdis (Muslimheritage)
Ibnu al-Hamdis (Muslimheritage)

�Benda bening menunjukkan tulisan dalam sebuah buku untuk mata, benda bening seperti air, tapi benda ini merupakan batu. Benda itu meninggalkan bekas kebasahan di pipi, basah seperti sebuah gambar sungai yang terbentuk dari keringatnya,� tutur al-Hamdis.

�Ini seperti seorang manusia yang pintar, yang menerjemahkan sebuah sandi-sandi kamera yang sulit diterjemahkan. Ini juga sebuah pengobatan yang baik bagi orang tua yang lemah penglihatannya, dan orang tua menulis kecil dalam mata mereka,� lanjutnya.

Syair al-Hamids itu telah mematahkan klaim peradaban Barat sebagai penemu kacamata pertama.

Pada puisi ketiga, penyair Muslim legendaris itu mengatakan, â??Benda ini tembus cahaya (kaca) untuk mata dan menunjukkan tulisan dalam buku, tapi ini batang tubuhnya terbuat dari batu (rock)â?.

Selanjutnya dalam dua puisi, al-Hamids menyebutkan bahwa kacamata merupakan alat pengobatan yang terbaik bagi orang tua yang menderita cacat/memiliki penglihatan yang lemah. Dengan menggunakan kacamata, papar al-Hamdis, seseorang akan melihat garis pembesaran.

Dalam puisi keempatnya, al-Hamdis mencoba menjelaskan dan menggambarkan kacamata sebagai berikut: â??Ini akan meninggalkan tanda di pipi, seperti sebuah sungaiâ?. Menurut penelitian Lutfallah, penggunaan kacamata mulai meluas di dunia Islam pada abad ke-13 M. Fakta itu terungkap dalam lukisan, buku sejarah, kaligrafi dan syair.

Dalam salah satu syairnya, Ahmad al-Attar al-Masri telah menyebutkan kacamata. â??Usia tua datang setelah muda, saya pernah mempunyai penglihatan yang kuat, dan sekarang mata saya terbuat dari kaca.â?

Julius Hirschberg (Wikipedia)
Julius Hirschberg (Wikipedia)

Fakta lain yang mampu membuktikan bahwa peradaban Islam telah lebih dulu menemukan kacamata adalah pencapaian dokter Muslim dalam ophtalmologi, yaitu ilmu tentang mata. Dalam karyanya tentang ophtalmologi, Julius Hirschberg, menyebutkan, dokter spesialis mata Muslim tak menyebutkan kacamata. �Namun itu tak berarti bahwa peradaban Islam tak mengenal kacamata,� tegas Lutfallah. (tom)

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.