“Berhenti, pelanggar bahasa! Serahkan dirimu dengan tenang.”
“Bacot lo, polisi bahasa!”
…
“Jaga ucapanmu! Hukumanku bisa kutambah.”
“Itu juga kalau lo bisa naik ke atas sini kan”
“Inefisiensi! Tidak perlu menyebut “ke atas” ketika menggunakan kata ‘naik’!”
Dialog itu dikutip dari halaman-halaman awal komik “Peribahasa” bab 1. Alkisah, sekitar 45 tahun sebelum percakapan itu biasa terdengar di kota, perang bahasa terjadi. Dunia yang baik-baik saja ciptaan para pujangga lama mulai kacau semenjak kemunculuan orang-orang yang menggunakan bahasa untuk menyakiti satu sama lain.
Di semesta yang ada di komik ini, bahasa punya peran yang sangat penting. Semua masyarakat yang tinggal di semesta ini wajib menggunakan bahasa baku. Jika melanggar, maka polisi bahasa akan menghukum.
Sementara itu, muncullah kelompok Peri Bahasa, mereka menggunakan bahasa seenaknya saja dan tak peduli dengan aturan baku. Bagi mereka, bahasa baku hanya akan membuat hidup jadi kaku. Dan sudah semestinya, bahasa-bahasa baru itu lahir dari dinamika percakapan sehari-hari.
“Dunia ini terbentuk oleh bahasa, semua elemen itu dibentuk oleh bahasa. ada sekelompok orang yang memanipulasi bahasa supaya bisa menguasai dunia ini sesuai dengan apa yang mereka inginkan. Komik ini lahir dari obrolan tengah malam: kalau peribahasa jadi media berantem ala-ala komik populer, bagus juga yah. Ini bagus untuk menggenjot orang untuk belajar bahasa dengan lebih fun,” kata Fachreza Octavio atau Fare, sang komikus yang bekerja sama dengan LSS sebagai pembuat cerita, seperti dikutip dari Hai-Onlinecom, Selasa (24/1/2017).
Komik ini menarik, karena merefleksikan apa yang kerap kita debatkan sehari-hari. Ada kalangan yang menganggap penggunaan bahasa baku itu penting untuk menjaga integritas bangsa. Tapi, di satu sisi, ada juga kalangan yang justru luwes menciptakan dan mengadopsi bahasa baru.
Komik “Peribahasa” bukan mengajak kita untuk menggunakan bahasa, atau membela bahasa slang. Pembaca diajak untuk berada di keduanya. Lewat hukum-hukum Polisi Bahasa kita jadi tahu kalimat mana yang janggal atau tak tepat guna tapi sering dipakai, sementara dari para Peri Bahasa, kita jadi sadar tentang serunya perkembangan penggunaan bahasa. Kita juga jadi makin tahu bahwa selain untuk komunikasi, bahasa juga punya kekuatan.
Serunya lagi, para peribahasa sehari-hari jadi senjata para jagoan di komik. Misalnya, jurus “Besar Pasak daripada Tiang,” atau jurus “Sudah Jatuh Tertimpa Tangga Pula.”
Komik “Peribahasa” ini bisa kita ikuti di “Kosmik Second Orbit Issue 01” yang baru saja resmi dirilis pada 22 Januari kemarin. Jadi, kata siapa komik itu tidak mendidik? (tom)