Menguak Misteri Supriyadi, Sang Tokoh PETA

Hutomo Dwi

Nama tokoh pahlawan nasional ini sangat terkenal karena selain berjasa bagi Indonesia, keberadaannya sampai sekarang masih menjadi misteri. Bagaimana kisah hidupnya? Berikut kisah dan sejarahnya, seperti dilansir jadiBerita dari Biografiku, Jumat (24/2/2017).

Supriyadi atau yang lebih dikenal dengan nama Shodancho Soeprijadi, diketahui lahir pada tanggal 13 April 1923 di Jawa Timur yang ketika itu masih dalam masa kependudukan Hindia Belanda. Ayahnya bernama Raden Darmadi yang dikenal sebagai Bupati Blitar saat kemerdekaan Indonesia. Ibu Supriyadi bernama Raden Roro Rahayu yang merupakan keturunan bangsawan yang wafat ketika Supriyadi masih kecil dan kemudian diasuh oleh ibu tirinya yang bernama Susilih.

Supriyadi mulai mengenyam pendidikan pertamanya dengan bersekolah di ELS (Europeesche Lagere School) yang setara dengan sekolah dasar. Tamat dari sana, ia kemudian masuk sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) yang setingkat SMP. Dari situ ia kemudian melanjutkan pendidikannya di MOSVIA (Middelbare Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren) yang merupakan sekolah untuk kaum bangsawan yang dididik untuk menjadi pegawai pemerintahan atau pamong praja pada masa kolonial Belanda. Namun belum lulus dari sekolah tersebut, tentara Jepang kemudian menduduki Indonesia.

Supriyadi kemudian bersekolah di SMT (Sekolah Menengah Tinggi) dan juga ikut dalam latihan militer yang diadakan oleh Jepang yang dikenal dengan nama Seinindojo di wilayah Tangerang. Tahun 1943, Ketika Jepang mulai membentuk pasukan PETA (Pembela Tanah Air) yang pasukannya terdiri dari pemuda Indonesia, Supriyadi kemudian ikut masuk. Dengan latihan militer yang keras yang diikuti oleh Supriyadi, membuat ia kemudian mendapat pangkat sebagai Komandan Peleton atau Shodancho yang kemudian dikenal dengan sebutan Shodancho Supriyadi.

Tentara PETA (Pemudamusliminindonesia)

Oleh Jepang, Supriyadi kemudian ditugaskan di Blitar, Jawa Timur. Ia membawahi pasukan Peleton I dan Kompi III yang bertugas memberi bantuan senjata berat. Selain itu Supriyadi juga ditugaskan untuk mengawasi para pekerja paksa romusha. Melihat penderitaan berat rakyat Indonesia yang dipaksa bekerja sebagai Romusha membuat Supriyadi kemudian nekat untuk mengadakan pemberontakan yang kemudian dikenal dengan nama pemberontakan PETA di Blitar.

Supriyadi kemudian mulai mengadakan rencana pemberontakan. Hal pertama yang ia lakukan adalah dengan menghubungi kawan-kawannya sesama tentara PETA untuk mendakan pertemuan rahasia untuk merencanakan pemberontakan pada bulan september 1944. Kawan-kawan Supriyadi ketika itu yang ikut seperti Halir Mangkudijaya, Muradi dan Sumanto.

Dari pertemuan tersebut dilakukan persiapan dengan menghubungi tentara PETA yang lain yang berada di Blitar untuk diajak memberontak. Persiapan yang dilakukan oleh Supriyadi membuat banyak tentara PETA yang ikut untuk memberontak kepada Jepang. Supriyadi juga meminta bantuan tokoh masyarakat untuk membantunya.

Pertemuan untuk merencanakan pemberontakan dilakukan beberapa kali sesuai yang ditulis dalam buku yang berjudul “Tentara Gemblengan Jepang” yang tulis oleh Joyce J Lebra. Segala persiapan dilakukan seperti pembentukan pasukan pemberontakan, pembagian tugas, persiapan logistik, dan lain lain. Semua dilakukan dari tahun 1944 hingga 1945.

Supriyadi bahkan sempat memberitahukan tentang rencana pemberontakan tentara PETA tersebut kepada Ir. Sukarno ketika ia datang ke Blitar namun Soekarno ketika itu menasehati Supriyadi untuk mempertimbangkannya baik-baik sebab resikonya sangat besar namun Supriyadi sangat yakin bahwa pemberontakan tersebut pasti berhasil. Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan dengan tentara PETA yang lain maka ditetapkanlah waktu dan tempat pemberotakan akan dilakukan di Tuban, Jawa Timur.

Supriyadi (Merdeka)

Namun pada awal tahun 1945, Jepang melaui mencurigai bahwa akan ada pemberontakan yang akan dilakukan oleh tentara PETA dibawah pimpinan Supriyadi. Oleh karenanya, jepang kemudian membuat berbagi peraturan ketat untuk tentara PETA dan juga mengawasi Supriyadi dan pasukannya. Mengetahui hal tersebut, pertemuan terakhir perencanaan pemberontakan dilakukan.

Pada tanggal 14 februari pukul 03.00 pemberontakan PETA yang dipimpin oleh Supriyadi meletus di Blitar. Tembakan pertama dilakukan dengan menembakkan mortir ke hotel Sakura dimana tempat tersebut banyak terdapat perwira Jepang.

Pasukan PETA yang lain yang ikut memberontak kemudian memutuskan kabel telepon dan kemudian menembaki tentara Jepang yang mereka jumpai di kota Blitar. Tak ketinggalan markas Kenpetai yang banyak berisi perwira Jepang ditembaki dengan menggunakan senapan mesin, namun markas tersebut sudah dikosongkan.

Rupanya Jepang sudah mengetahui bahwa tentara PETA pimpinan Supriyadi akan memberontak. Pemerintah Jepang ketika itu kemudian memerintahkan pesawat terbang Jepang untuk melakukan pengintaian. Langkah selanjutnya Jepang kemudian memanfaatkan para pemimpin tentara PETA yang tidak ikut memberontak untuk membujuk Supriyadi agar menyerah. Dan kemudian mengirimkan pasukan Jepang untuk memadamkan pemberontakan yang dipimpin oleh Supriyadi.

Melihat para pemberontak yang kian terdesak hingga ke hutan Ngancar, Jepang kemudian memerintahkan seorang pimpinan tentara Jepang bernama Kolonel Katagiri untuk menemui pimpinan pemberontakan. Katagiri kemudian menemui Muradi pimpinan pemberontakan PETA selain Supriyadi di Sumber Lumbu, Kediri.

Tentara PETA (Surabayaonline)

Katagiri kemudian meminta kepada Muradi agar menyuruh para pemberontak untuk menghentikan pemberontakan kembali ke markas. Muradi kemudian mengajukan persyaratan bahwa para pemberontak tersebut diampuni dan senjata mereka tidak dilucuti. Katagiri kemudian setuju dan sebagai janjinya Katagiri memberikan pedangnya kepada Muradi sebagai bukti janji seorang samurai.

Pemberontakan kemudian berhasil dipadamkan oleh Jepang, namun Jepang tidak menepati janjinya. Sebanyak 78 perwira PETA yang terlibat dalam pemberontakan diusut oleh Polisi Militer Jepang (Kenpetai) dan senjata mereka kemudian dilucuti Jepang.

Mereka kemudian diadili secara militer dan beberapa pimpinannya yaitu Muradi, Sunanto, Sudarmo, Suparyono, dan Halir Mangkudijaya yang dijatuhi hukuman mati oleh Jepang di pantai Ancol, Jakarta dan sebagian lagi yang memberontak kemudian dipenjara. Tetapi Supriyadi tidak dihukum mati oleh Jepang karena ia tidak menyerahkan diri setelah pemberontakan.

Setelah pemberontakan tentara PETA berhasil dipadamkan, tidak ada yang mengetahui nasib atau keberadaan Supriyadi, ia menghilang bagai ditelan bumi setelah pemberontakan. Terakhir kali ia terlihat di Dukuh Panceran, Ngancar saat perundingan antara pemberontak dan tentara Jepang menghasilkan kesepakatan. Namun banyak yang meyakini bahwa Supriyadi masih hidup namun bersembunyi dari kejaran tentara Jepang.

Kabar tewasnya Supriyadi (Biografiku)

Beberapa orang mengaku pernah melihat Supriyadi dan bahkan menyembunyikan Supriyadi ketika pemberontakan selesai. Seperti pengakuan Harjosemiarso yang merupakan kepala desa di Sumberagung mengaku pernah menyembunyikan Supriyadi di rumahnya ketika itu dan Ronomejo yang merupakan warga desa Ngliman di Nganjuk yang juga mengaku menyembunyikan Supriyadi di sebuah gua di air terjun Sedudo. Bahkan pelatih Supriyadi di PETA yang bernama Nakajima mengaku bertemu dan menyembunyikan Supriyadi pada bulan Maret 1945 di Salatiga dan kemudian Supriyadi pamit menuju ke Banten.

Ada juga beberapa orang yang mengaku sebagai Supriyadi. Salah satunya pengakuan dari seseorang bernama Andaryoko Wisnu Prabu yang mengaku sebagai Supriyadi. Namun banyak pihak yang kemudian meragukan pengakuannya sebab tidak sesuai dengan fakta sejarah seperti Wisnu Prabu mengaku sebagai pengerek bendera ketika proklamasi kemerdekaan padahal pengerek bendera ketika itu adalah Latief Hendradinigrat. Wisnu Prabu juga mengaku ikut hadir ketika supersemar diserahkan di Istana Bogor. Akhirnya pengakuannya sebagai Supriyadi mulai diragukan banyak orang, kemungkinan besar ia hanya seorang tentara PETA saja.

Andaryoko Wisnu Prabu (Trainee)

Hingga kini makam atau pusara dari Supriyadi tidak diketahui sama sekali. Jasadnya bahkan tidak pernah ditemukan sampai sekarang. Namun jasa-jasa Supriyadi dalam melawan penjajah sangat dihormati sehingga ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia. (tom)

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.