Getuk memang manis. Tapi tak demikian dengan perjalanan keartisan teh Ninih. Sempat mengecap manisnya layar kaca, Ninih kini kembali menjajakan kudapan getuk.
Pagi-pagi sebelum matahari terbit, Ninih harus berangkat ke jembatan penyeberangan GOR Sumantri, Jl HR Rasuna Said, Jakarta Selatan, dari Pejompongan. Dia menggendong dua bakul. Isinya tiwul, cenil, getuk, ketan hitam dan lupis. Ibu satu anak ini memilih lokasi yang sama saat pertama kali berjualan getuk pada pertengahan tahun 2014.
“Ninih pulang ke kampung, sudah 1,5 tahun yang lalu dan kembali ke sini, jualan baru seminggu ini, baru habis Lebaran ini,” kata pemilik nama asli Turinih ini, seperti dikutip dari Detikcom, Kamis (13/7/2017).
Sebelum kembali ke kampungnya di Indramayu, Jawa Barat, Ninih pernah masuk layar kaca. Cerita soal getuk dan paras wajahnya yang melambungkan nama Ninih hingga kerap ‘manggung’ di televisi. Tawaran sebagai tamu undangan talkshow dan bintang tamu komedi datang silih berganti. Hingga akhirnya Ninih dilirik Eko Patrio, pemilik Komando production house. “Kalau dulu pas pertama diorbitin itu, sibuk. Jadi nggak sempet jualan,” tutur Ninih.
Tahun 2015 jadi waktu yang paling berkesan bagi Ninih. Pada tahun itu, Ninih kerap mendapat job untuk jadi bintang tamu atau pun job menyanyi. “Tahun 2015 perjalanannya itu serius senang. Banyak yang menyemangati, orang pada sayang sama Ninih berusaha untuk memajukan Ninih untuk jadi yang lebih baik lagi. Jadi Ninih tuh seneng di situ semangat gitu. Alhamdulillah Ninih selalu didekatkan dengan orang yang baik-baik, sangat bahagia, seneng,” kata Ninih.
Ninih mengaku ingin mengulang masa-masa bahagianya saat tampil dulu di televisi. Tapi untuk sementara Ninih memilih setia berjualan getuk. “Masih pengen pengen nyanyi pengen main film. Kadang Ninih tuh di rumah belajar akting di rumah, Ninih nggak bisa nyanyi, Ninih belajar di rumah. Tapi sekarang nggak ada job, insya Allah nanti namanya rezeki nggak ada yang tahu ya,” kata Ninih berharap.
Apa yang dialami oleh Teh Ninih, menurut sosiolog UGM Derajad S Widhyharto, sebenarnya wajar. “Saya kira wajar secara sosiologis. Pada prinsipnya manusia itu dipengaruhi lingkungannya. Ketika dia tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan yang baru, pasti dia kembali ke lingkungan asalnya,” ujar Derajad.
Derajad menjelaskan kebanyakan masyarakat Indonesia saat ini dilanda keinginan sukses dengan cara instan. Sehingga tidak jarang ada yang menuai kekecewaan karena harapannya tidak sampai, itulah yang dihadapi Ninih saat ini. “Yang pertama, masyarakat kita ini mengalami keinginan proses instan. Sekarang lagi tren semuanya pengin cepat, usaha pun ingin cepat. Konteksnya adalah ketika penjual getuk tadi ketemu dengan seorang selebritis, kemudian ada ekspektasi dia akan lebih cepat ‘kaya’ dan dapat popularitas cepat naik daun harapan dia,” jelas Derajad.
“Ternyata harapan tinggal harapan, tidak semanis yang diharapkan. Ketika dia tidak bisa ketemu dengan harapannya, artinya dia juga menanggung malu dari proses itu,” sambungnya.
Ia menyebut kembalinya Ninih berjualan setelah dua tahun bukan berarti selama ini dia menghilang. Menurutnya, Ninih sedang menyembuhkan diri sendiri dan beradaptasi dengan situasi yang dihadapinya. “Kembalinya ke getuk merupakan proses sosial. Bisa jadi menghilangnya menyembuhkan diri sendiri atau beradaptasi dengan situasi sehingga dia yakin kembali dan berjualan. Saya kira realitas yang perlu diberitakan karena banyak juga masyarakat kita yang seperti itu,” kata Derajad.
Derajad mengatakan secara sosiologi ekonomi, apa yang dialami Ninih itu disebut keterlekatan atau ketertanaman. Jadi, kalau Ninih tidak bisa menjadi selebritis, ia akan kembali ke profesi awal. “Artinya, secara sosiologi-ekonomi, ada yang disebut keterlekatan atau ketertanaman itu terhadap nilai-nilai sosial itu. Kalau dasarnya tidak bisa jadi selebritis, ya pasti balik saja. Dengan seperti itu, ada keterlekatan sehingga kembali lagi jadi penjual getuk,” ucap dia.
Dari pengalaman Teh Ninih ini bisa diambil pelajaran, bahwa menjadi seorang selebritis ternyata tak selamanya enak dan sesuai dengan yang dipikirkan orang banyak. Pelajaran lainnya yang bisa diambil adalah tak ada kesuksesan yang bisa diraih secara instan. Semua membutuhkan usaha dan kerja keras. (tom)