Nasib veteran BKR Laut, Letnan dua (Letda) Soegeng Setijoso dan istrinya Astuti, yang juga veteran Palang Merah Indonesia (PMI), begitu miris meskipun sekarang sudah mencapai zaman reformasi. Apa saja kisah yang mereka alami? Berikut kisahnya seperti dilansir dari Merdeka, Senin (30/6/2014).
Pasangan tersebut dikaruniai empat orang anak, namun sayangnya semuanya memiliki keterbelakangan mental. Selain itu, meskipun mereka berdua adalah veteran perang, uang pensiun mereka tidaklah seberapa. Bahkan tempat tinggal mereka yang berada di Jalan Kalibokor Kencana II/12, Surabaya, Jawa Timur, tidak terlihat sebagai rumah seorang veteran perang, dan tetangga-tetangganya hanya mengenal pasangan Soegeng dan Astuti yang memiliki empat anak dengan keterbelakangan mental.
Letda Soegeng sudah meninggal enam tahun lalu, dan di rumah itu hanya tinggal Astuti dan empat orang anaknya. Dia hidup dari uang pensiunnya yang tak seberapa. “Pak Soegengnya sudah meninggal enam tahun lalu. Sekarang ya tinggal istrinya sama satu orang anaknya. Dua anaknya lagi dititipkan di Liponsos, satunya lagi sudah meninggal saat berada di Liponsos,” kata istri Ketua RW VII Kalibokor Kencana, Nur.
Diceritakan Nur dan beberapa warga setempat, dulu sebelum Soegeng dan Astuti diketahui sebagai mantan pejuang kemerdekaan, mereka tinggal di gubuk reot. Baru dua tahun lalu, tepatnya pada 2011, rahasia mereka sebagai veteran perang terbongkar. Saat itu, Soegeng sudah wafat. “Mereka hidup susah. Bahkan, untuk makan saja susah. Pernah suatu ketika, mereka sudah tidak punya uang untuk makan. Empat anaknya berada di depan rumah sambil membawa rantang plastik meminta makan kepada setiap orang yang lewat,” cerita Nur.
Kondisi gubuk reotnya yang tidak layak untuk ditempati itu cukup mengundang rasa penasaran, karena tecium bau tidak enak bagi orang yang melewati gubuk tersebut. Ketua RW yang diminta untuk mengecek kondisi dan mengetahui apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah itu, akhirnya menuruti permintaan warganya. “Sekarang, sudah bersih. Dulu, jangankan mau masuk rumah, lewat di depan rumahnya saja, nggak kuat. Baunya minta ampun. Mulai bau kotoran sampai bau kencing. Pokonya pingin muntah kalau mau lewat di depan rumahnya,” terang warga sekitar.
“Ya bagaimana tidak bau, wong ketika saya masuk rumahnya itu, waduuuhh, sampah bekas bungkus makanan sudah penuh satu rumah. Mereka kencing di situ, buang air besar juga di situ, bahkan dioles-oleskan ke dinding juga. Tidak pernah mandi juga. Ya mau gimana lagi, wong mentalnya kayak begitu. Ibunya juga sudah tua,” sahut Nur.
Warga akhirnya membantu membersihkan gubuk reot milik Soegeng dan Astuti. Saat itu lah, salah satu pegawai kecamatan terkejut melihat ‘Surat Tanda Kehormatan Presiden Republik Indonesia’ usang yang terbingkai di dinding rumah.
Ketika menemui Astuti yang berada di dalam rumah, dirinya menceritakan masa-masa perang dulu. “Zaman dulu, tentara Jepang itu sangat kejam. Mereka itu paling kejam dibanding Belanda, siapa saja yang bikin salah langsung dibunuh. Tapi dulu itu, jalan kaki nggak pakai sendal kaki tetap kuat, kalau sekarang, biar pakai sandal atau sepatu, kaki tetap kena beling,” cerita dia dengan logat Jawa.
Nenek Astuti juga menunjukkan surat tanda kehormatan untuk suaminya dari Presiden Soekarno, yang masih menempel rapi di dinding rumah. “Sekarang ya sudah pensiun. Sejak almarhum Bung Karno tidak lagi memimpin, saya dan suami saya tidak lagi di kesatuan. Kami hidup ya dari uang pensiun, tidak pernah ada bantuan apa-pun dari pemerintah,” kata nenek renta itu menerawang.
Semoga kondisi veteran perang yang memprihatinkan ini mendapatkan perhatian dari emerintah setempat, agar keluarga Nenek Astuti bisa hidup lebih baik lagi. (tom)