Indonesia Ternyata Pernah 3 Kali Pindah Ibukota

Hutomo Dwi

Setiap orang Indonesia ketika ditanya ibu kota Indonesia pasti tahu jawabannya adalah Jakarta. Namun tahukah kamu kalau pada era-era kemerdekaan, Indonesia pernah memindahkan ibu kotanya sampai 3 kali? Apa yang menyebabkan ibu kota sampai dipindahkan? Berikut ini penjelasannya seperti dilansir JadiBerita dari berbagai sumber.

Pemindahan ibu kota yang pertama adalah pemindahan dari Jakarta ke Yogyakarta. Menurut Ketua Pusat Studi Pancasila UGM yang juga anggota Senat UGM, Prof Soetaryo, setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Pakualam VIII mengirimkan surat ucapan selamat atas kemerdekaan itu. Tanggal 5 September 1945 Sultan dan Pakualam menyatakan bergabung dalam NKRI. Keduanya merupakan penguasa lokal pertama yang menyatakan bergabung dengan Negara Kesatuan RI (NKRI).

Keamanan Jakarta sebagai Ibu Kota terancam saat Belanda kembali datang ke Indonesia membonceng sekutu. Bahkan pada tanggal 29 September 1945, Belanda berhasil menduduki Jakarta. Sultan dan Paku Alam mengirim kurir ke Jakarta dan menyarankan agar Ibu Kota pindah ke Yogya pada 2 Januari 1946. Tawaran Sultan diterima dengan oleh Bung Karno. Lalu pada 4 Januari ibukota NKRI resmi pindah ke Yogyakarta.

Batu penanda batas penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta sebagai ibu kota Indonesia (Merdeka)

Diakui Soetaryo, pilihan Sukarno untuk menerima tawaran Sultan tersebut bukan tanpa alasan. Yogyakarta menurutnya adalah daerah yang paling siap menerima kemerdekaan Indonesia. Yogya yang pertama kali menyiarkan kemerdekaan Indonesia melalui Masjid Gedhe Kauman setelah diproklamasikan di Jakarta. “Dipilihnya Yogya karena Bung Karno tidak main-main. Yogya merupakan daerah yang paling siap, dari sisi politik, ekonomi bahkan keamanan Yogyakarta paling siap saat itu,” jelasnya.

Setelah Yogyakarta, ibu kota Indonesia sempat juga dipindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat pada tanggal 19 Desember 1948. Hal ini dilakukan setelah Yogyakarta jatuh ke tangan Belanda atau dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI). Pemilihan daerah ini bukan tanpa alasan atau hanya asal-asalan. Menurut buku “Tjerita Tentang Pemerintahan Darurat Sjarifudin di Sumatera Tengah. Dalam Bingkisan Nasional Kenangan 10 Tahun Revolusi Indonesia” karya RE Baharudin tahun 1955, kepindahan ibukota ini karena adanya Sjafrudin Prawiranegara yang pada masa itu memang disiapkan untuk memimpin pemerintahan darurat jika para pemimpin tertangkap.

Sjafrudin Prawiranegara (Muslimdaily)

 

Kemudian pemindahan ibu kota yang terakhir adalah ke Bireuen, Aceh. Pemindahan itu juga terjadi pada tahun 1948, namun hanya berlangsung selama seminggu. Alasannya juga sama, yaitu ibu kota sebelumnya, Bukittinggi, juga berhasil ditaklukkan Belanda dalam Agresi Militer Belanda kedua. Sukarno hanya berada seminggu di Bireuen dan seluruh aktivitas Republik Indonesia waktu itu dipusatkan di jantung kota. Pada waktu itu Sukarno menginap dan mengendalikan pusat pemerintahan RI di kediaman Kolonel Hussein Joesoef di Bireun. Presiden Sukarno terpaksa mengasingkan diri ke Aceh, tepatnya Bireuen, karena relatif aman.

Itulah ketiga tempat yang sempat menjadi ibu kota Indonesia selain Jakarta. Ada juga wacana yang akan memindahkan ibu kota untuk masa pemerintahan sekarang ini. Pemerintah Jokowi – JK saat ini melirik Sampit (ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur) dan Pangkalanbun (ibu kota Kabupaten Kotawaringin Barat) sebagai wilayah yang cocok menjadi ibu kota negara yang baru. Alasannya adalah karena jaraknya yang lebih dekat dari Pulau Jawa sehingga tidak akan sulit untuk menjaga kesinambungan. Namun belum jelas apakah hal itu akan tetap dilakukan atau tidak. (tom)

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.