ECVT, Teknologi Buatan Indonesia yang Juga Dipakai NASA

Hutomo Dwi

Sebagai orang Indonesia, kita patut bangga karena kini teknologi buatan Indonesia sudah semakin mendunia. Salah satunya adalah teknologi Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT). Teknologi seperti apa ECVT itu?

Teknologi ECVT ini ditujukan untuk industri dan medis, khususnya pemindai aktivitas otak serta kanker tubuh manusia. Jika dilihat secara fisik, teknologi ini berupa helm dengan sedikit modifikasi, agar bisa dihubungkan dengan kabel. Helm yang dirancang penuh dengan kabel yang terhubung ke komputer itu berfungsi mendeteksi kanker dan aktivitas otak manusia. Helm canggih itu turut dilengkapi oleh 32 elektroda sebagai pengirim (transmitter) dan penerima (receiver) dengan mengganti 496 kombinasi dalam satu frame.

Teknologi ini dibuat oleh Warsito Purwo Taruno. Berkat ciptaannya ini, Warsito menerima penghargaan Bacharuddin Jusuf Habibie Technology Award (BJHTA) tahun 2015 dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)

Warsito dan teknologi ECVT ciptaannya (Menulissehat.blogspot.com)
Warsito dan teknologi ECVT ciptaannya (Menulissehat.blogspot.com)

“Penghargaan ini diberikan kepada anak bangsa yang berhasil menciptakan karya-karya yang berjasa bagi masyarakat banyak,” ujar Kepala BPPT Dr Ir Unggul Priyanto.

Yang bikin bangga, ternyata teknologi ini sudah digunakan di luar Indonesia, seperti misalnya di klinik di Jepang dan Polandia. Bahkan NASA juga menggunakan teknologi ini.

“Banyak lembaga dunia telah menggunakan ECVT untuk pengembangan lebih lanjut seperti NASA, Kyoto University, Ohio State University dan lainnya. Teknologi ini digunakan untuk memindai tabung gas, pendeteksian aktivitas dan disfungsi otak, hingga pemindaian kanker payudara,” jelas Unggul.

Warsito menjelaskan, teknologi ECVT ini berbeda dari tomografi konvensional. ECVT menggunakan gelombang energi pinggiran ketimbang gelombang utama, karena lebih hemat energi.

“Gelombang energi utama itu bisa menggunakan 200 volts. Banyak orang menganggap gelombang pinggiran ini sifatnya menyimpang dan terbuang. Tapi justru bisa kami manfaatkan,” terang Warsito di sela acara anugerah BJHTA 2015 di kantor BPPT, Jakarta Pusat seperti dikutip dari CNNIndonesiacom, Senin (24/8/2015).

Dalam menciptakan teknologi ECVT ini, Warsito dibantu oleh Rizki Nur Fauzi, salah satu peneliti dari lembaga Ed War Technology, yang mengembangkan perangkat helm berteknologi ECVT tersebut. Dia pun menjelaskan cara kerja helm ini.

“Jika kondisinya normal, maka pindaian ini akan berwarna merah. Tapi kalau terdeteksi ada massa seperti tumor, atau kelainan seperti epilepsi dan kegilaan, warnanya akan rancu dan blur,” tutur Rizki.

Selain helm, teknologi ECVT juga ada yang berbentuk cup, namun tidak didemonstrasikan dalam ajang BJHTA 2015 ini. Rizki menerangkan, untuk cup ECVT, cara penggunaannya juga tak sulit, tinggal ditempelkan di bagian payudara dan ia akan bekerja mendeteksi kanker. Saat ini, menurut Rizki, tim pengembang sedang melakukan riset untuk peninjauan kanker di bagian paru-paru.

ECVT bentuk cup (Biologimediacentre)
ECVT bentuk cup (Biologimediacentre)

Warsito sendiri lahir di Karanganyar pada tanggal 15 Mei 1967 dan menjadi peserta program beasiswa Habibie Overseas Fellowship pada 1987. Warsito menyelesaikan studi sarjana dan magister pada jurusan teknik kimia di Shizuoka University dan doktor pada jurusan teknik elektro di universitas yang sama.

Sejumlah penghargaan diraihnya mulai dari luar negeri dan dalam negeri. Warsito saat ini juga menjabat sebagai Ketua Umum Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI). (tom)

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.