Menjadi negara yang kaya raya tentunya merupakan impian semua warga negara, karena dengan menjadi negara kaya, maka semua rakyatnya akan menjadi sejahtera. Salah satu contoh negara yang kaya adalah Nauru.
Dilansir dari News.com, Senin (4/1/2016), kekayaan Nauru bermula saat ditemukannya fosfat atau pupuk yang berasal dari kotoran burung yang berumur lebih dari seribu tahun pada tahun 1960-an. Penemuan tersebut yang kemudian mengundang perusahaan asing untuk membuat tambang di negara tersebut untuk kemudian mengeruk semua persediaan fosfat yang ada. Pada era kejayaan fosfat, Nauru adalah negara dengan pendapatan per kapita pendudukan paling tinggi di dunia.
Namun, penemuan sumber daya baru tersebut membuat masyarakat Nauru terlena. Banyak dari mereka yang menghabiskan uang yang dimiliki untuk sesuatu yang tidak mereka butuhkan.
Setelah fosfat yang terkandung di dalam perut bumi Nauru habis, perekonomian negara yang berada di Pasifik tersebut menjadi negara miskin. Bahkan Nauru harus berutang kepada Australia untuk bisa menjalankan pemerintahan. Nauru juga bergantung impor dari negara-negara seperti Australia, India dan Indonesia.
Kekayaan Nauru habis oleh warganya yang suka bepergian ke luar negeri atau membeli mobil mewah sekelas Lamborghini. “Sangat sulit bagi warga lokal untuk berpikir menginvestasikan uangnya. Ibaratnya dollar bahkan pernah digunakan sebagai kertas toilet,” kata salah seorang penduduk Nauru seperti dikutip dari BBC. “Itu seperti setiap hari pasti ada pesta,” lanjutnya.
Bahkan, banyak dari mereka yang kemudian meninggalkan kehidupan tradisional dan mulai mengonsumsi makanan tidak sehat, alkohol dan rokok. Harapan hidup mereka menurun hingga usia 50 tahun, di mana mereka menderita diabetes, serangan jantung dan penyakit kronis lainnya. WHO pada tahun 2007 mengumumkan, 94,5 persen penduduk Nauru menderita kelebihan berat badan, dan 71.7 persen menderita obesitas. Kasus ini merupakan yang tertinggi di dunia, sebelum diambil oleh Meksiko pada tahun 2013.
Karena pertambangan fosfat yang jumlahnya banyak, maka banyak juga kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Akhirnya, sebanyak 75 persen wilayah negara ini menjadi tidak layak huni. Salah satu mantan menteri Nauru, James Aingimea (84) mengatakan, jika melihat dampak penambangan, dia berharap fosfat tidak pernah ditemukan. “Saya berharap Nauru bisa seperti sebelumnya. Ketika saya kecil, semuanya sangat indah. Waktu itu masih ada pohon. Hijau di mana-mana, dan kita dapat memakan kelapa segar dan suku. Sekarang saya melihat apa yang terjadi, saya mau menangis.”
Pada awal 1980 persediaan fosfat atau kotoran burung yang kemudian dijadikan kompos mulai menipis. hal ini yang kemudian mempengaruhi pemasukan negara. Beberapa tahun kemudian, Nauru akhirnya bangkrut. Pemerintah yang telah melakukan investasi yang buruk kemudian melakukan pinjaman.
“Banyak uang diinvestasikan pada sesuatu yang tidak menghasilkan,” kata kepala Geosciences di University of Sydney, Professor John Connell kepada ABC.
Dia kemudian memberi contoh, salah satunya membangun gedung-gedung di luar negeri, seperti Nauru House di Melbourne, hotel, pabrik fosfat di India dan Filipina yang kemudian tidak bisa bertahan.
Dengan opsi keuangan yang sedikit, pada tahun 2001, Nauru membuat perjanjian dengan Australia untuk melakukan pinjaman yang membuatnya menjadi ketergantungan. Untuk tahun ini, jumlah pinjaman pinjaman telah mencapai USD 27.1 atau sekitar Rp 325 miliar.
Hingga kini, Nauru masih menjadi negara miskin. Semoga saja Indonesia tidak bernasib sama dengan Nauru. (tom)