Kamu jelas sudah tahu mengenai foto yang memperlihatkan sosok Presiden Pertama RI, Sukarno, sedang membacakan teks proklamasi. Namun, tidak semua tahu kisah yang terdapat di balik foto itu. Rupanya, foto itu menyimpan kisah heroik dari sang pembuatnya. Berikut kisahnya, seperti dilansir dari Kompascom, Rabu (17/8/2016).
Kisah ini terjadi pada suatu pagi di bulan puasa, tanggal 17 Agustus 1945. Frans Sumarto Mendur mendengar kabar dari sumber di Harian Asia Raya bahwa ada peristiwa penting di kediaman Presiden Sukarno. Alexius Impurung Mendur, kakak dari Frans Mendur, yang menjabat kepala bagian fotografi kantor berita Jepang Domei, mendengar kabar serupa. Kedua Mendur Bersaudara ini lantas membawa kamera mereka dan mengambil rute terpisah menuju kediaman Sukarno.
Saat itu, Jepang sebenarnya sudah mengaku kalah pada sekutu, namun kabar ini masih belum terdengar oleh masyarakat Indonesia dikarenakan stasiun radio masih disegel Jepang dan bendera Hinomaru masih bertebaran di mana-mana. Patroli tentara Jepang juga masih berkeliaran dan bersenjata lengkap.
Dengan mengendap-endap, Mendur Bersaudara berhasil merapat ke kediaman Presiden Sukarno, sebuah rumah di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Cikini, Jakarta, ketika jam masih menunjukkan pukul 5 pagi.
Pukul 8, Sukarno masih tidur di kediamannya lantaran gejala malaria. Sukarno juga masih lelah sepulang begadang merumuskan naskah proklamasi di rumah Laksamana Maeda, Jalan Imam Bonjol Nomor 1. Dibangunkan dokternya untuk minum obat, Sukarno lantas tidur lagi dan bangun pukul 9.
Di Jakarta, pukul 10 di hari Jumat pagi itu, Sukarno dan Mohammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Upacara proklamasi kemerdekaan berlangsung sederhana, tanpa protokol. Saat itu hanya ada Mendur Bersaudara yang hadir sebagai fotografer pengabadi peristiwa bersejarah Indonesia.
Frans berhasil mengabadikan tiga foto, dari tiga frame film yang tersisa. Foto pertama, Soekarno membaca teks proklamasi. Foto kedua, pengibaran bendera Merah Putih oleh Latief Hendraningrat, anggota PETA (Pembela Tanah Air). Foto ketiga, suasana upacara dan para pemuda yang menyaksikan pengibaran bendera.
Sayangnya, setelah upacara, Mendur Bersaudara yang berniat meninggalkan kediaman Sukarno dikejar oleh tentara Jepang. Alex Mendur tertangkap, tentara Jepang menyita foto-foto yang baru saja dibuat dan memusnahkannya.
Adiknya, Frans Mendur berhasil meloloskan diri. Negatif foto dikubur di tanah dekat sebuah pohon di halaman belakang kantor harian Asia Raya. Tentara Jepang mendatanginya, tapi Frans mengaku negatif foto sudah diambil Barisan Pelopor.
Meski negatif foto selamat, perjuangan mencuci dan mencetak foto itupun tak mudah. Mendur Bersaudara harus diam-diam menyelinap di malam hari, panjat pohon dan lompati pagar di sampaing kantor Domei, yang sekarang kantor Antara.
Negatif foto lolos dan dicetak di sebuah lab foto. Risiko bagi Mendur Bersaudara jika tertangkap tentara Jepang adalah penjara, bahkan hukuman mati. Tanpa foto karya Frans Mendur, maka proklamasi Indonesia tak akan terdokumentasikan dalam bentuk foto.
Proklamasi kemerdekaan Indonesia hanya diberitakan singkat di harian Asia Raya, 18 Agustus 1945. Tanpa foto karena telah disensor Jepang.
Setelah proklamasi kemerdekaan, pada bulan September 1945, fotografer-fotografer muda Indonesia bekas fotografer Domei di Jakarta dan Surabaya mendirikan biro foto di kantor berita Antara.
Tanggal 1 Oktober 1945, BM Diah dan wartawan-wartawan eks harian Asia Raya merebut percetakan De Unie dan mendirikan Harian Merdeka. Alex Mendur pun pindah ke Harian Merdeka. Foto bersejarah proklamasi kemerdekaan Indonesia karya Frans Mendur tersebut baru bisa dipublikasikan pertama kali pada 20 Februari 1946 di halaman muka Harian Merdeka.
Setahun setelah kepindahan ke Harian Merdeka, kakak-beradik Frans dan Alex Mendur menggagas pendirian Indonesia Press Photo Service, disingkat IPPHOS. Turut mendirikan biro foto pertama Indonesia tersebut, kakak-beradik Justus dan Frank â??Nyongâ? Umbas, Alex Mamusung dan Oscar Ganda. IPPHOS berkantor di Jalan Hayam Wuruk Nomor 30, Jakarta sejak berdiri 2 Oktober 1946 hingga 30 tahun kemudian.
Karya Frans Mendur yang legendaris lainnya adalah foto pidato Bung Tomo yang berapi-api di Mojokerto tahun 1945, dan tapi sering dianggap terjadi di hotel Oranje, Surabaya. Ada juga foto lainnya yang memperlihatkan foto Suharto yang menjemput Panglima Besar Jendral Sudirman pulang dari perang gerilya di Jogja, 10 Juli 1949.
Kala itu nama Mendur Bersaudara sudah terkenal di mana-mana. Keberadaan mereka diperhitungkan media-media asing. Tapi Mendur Bersaudara dan IPPHOS tetap idealis untuk loyal kepada Indonesia. Padahal, secara etnis Minahasa, sebenarnya Mendur Bersaudara bisa saja dengan mudah merapat ke Belanda. IPPHOS tetap independen, di kala kesempatan bagi Mendur Bersaudara terbuka luas untuk meraup lebih banyak uang dengan bekerja untuk media asing.
Semasa hidupnya, Frans Mendur pernah menjadi penjual rokok di Surabaya. Di RS Sumber Waras Jakarta pada tanggal 24 April 1971, fotografer pengabadi proklamasi kemerdekaan RI ini meninggal dalam sepi.
Alex Mendur tutup usia pada tahun 1984 juga dalam keadaan serupa. Hingga tutup usia kakak-beradik Frans dan Alex Mendur tercatat belum pernah menerima penghargaan atas sumbangsih mereka pada negara ini. Konon, mereka berdua pun ditolak untuk dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata
Barulah pada tanggal 9 November 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganugerahi kedua fotografer bersejarah Indonesia ini, Alexius Impurung Mendur dan Frans Soemarto Mendur, dengan penghargaan Bintang Jasa Utama.
Untuk mengenang aksi heroik Mendur bersaudara, keluarga besar Mendur mendirikan sebuah monumen yang disebut “Tugu Pers Mendur”. Tugu ini berupa patung Alex dan Frans serta serta bangunan rumah adat Minahasa berbentuk panggung berbahan kayu. Monumen ini diresmikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 11 Februari 2013. (tom/rei)