STORY: Temple Grandin, Sang Professor Penyandang Autis

Hutomo Dwi

Temple Grandin dikenal sebagai tokoh yang dihubungkan dengan â??autismeâ?. Namanya pertama kali dikenal saat kisah hidupnya diangkat ke dalam sebuah buku berjudul â?An Anthropologist On Marsâ? yang ditulis oleh Oliver Sacks. Buku ini berisi gambaran Grandin mengenai perasaannya berada diantara orang-orang â??neurotypicalâ?.

Temple Grandin lahir di Boston, Massachusetts pada tanggal 29 Agustus  1947. Ketika berusia dua tahun, awalnya Grandin didiagnosa mengidap kerusakan otak. Oleh orangtuanya ia kemudian dimasukan ke sebuah kelompok bermain yang guru-gurunya ia anggap sangat baik. Dan pada tahun 1950 akhirnya dia didiagnosa mengidap autis.

Setelah berkonsultasi kepada seorang dokter, ibunya memberi Grandin terapi wicara dengan menyewa seorang pengasuh yang menghabiskan waktu berjam-jam bermain sambil belajar bersama Grandin dan kakaknya.

Dilansir dari Huffingtonpost, Senin (15/12/2014), dalam kisahnya, Grandin bercerita, “Tidak bisa berbicara sangat membuat saya frustasi. Jika seseorang dewasa berbicara langsung kepada saya, saya dapat memahami apa yang mereka katakan, tetapi saya tidak bisa mengeluarkan kata-kata yang ingin saya ucapkan. Jika saya berada dalam situasi dengan tingkat stress yang sedikit, terkadang kata-kata tersebut akhirnya bisa keluar. Terapis wicara saya tahu bagaimana cara masuk kedalam dunia saya. Ia akan memegang dagu saya dan membuat saya menatap matanya dan kemudian berkata ‘bola.’ Pada usia tiga tahun, saya bisa mengucapkan kata ‘bola’ dan ‘bola’ dengan tingkat stress tinggi.”

“Jika si terapis terlalu memaksa, saya akan mengamuk (tantrum), dan jika ia tidak mencoba masuk jauh kedalam diri saya, maka tidak akan ada perkembangan berarti yang bisa dicapai saat itu. Ibu dan guru saya bertanya-tanya kenapa saya berteriak. Berteriak adalah satu-satunya cara agar saya bisa berkomunikasi. Terkadang saya berpikir pada diri saya sendiri jika saya akan berteriak sekarang karena saya ingin memberitahu semua orang bahwa saya ingin melakukan sesuatu,” lanjutnya.

Pada usia empat tahun, Grandin mulai bisa berbicara dan memperlihatkan adanya perkembangan. Grandin merasa beruntung karena saat itu ia mendapat banyak dukungan dari para pengajar di sekolahnya.

Untuk membantu perkembangan kondisinya, Grandin mengkonsumsi obat anti depresi secara teratur dan menggunakan â??squeeze-boxâ? (mesin peluk) yang diciptakannya sendiri pada usia 18 tahun sebagai bentuk terapi personal. Beberapa tahun kemudian, kondisinya itu dapat dikenali dan pada usia dewasa ia didiagnosa menyandang sindrom Asperger, yang sejenis dengan spektrum autis.

Pada tahun 1960-an Grandin menyelesaikan sekolahnya di Hampshire Country School di Rindge, New Hampshire, dan melanjutkan belajar ke universitas. Dia berhasil meraih gelar sarjana jurusan psikologi dari Franklin Pierce College pada tahun 1970, gelar master jurusan pengetahuan binatang dari Arizona State University pada tahun 1975, dan gelar doktor  atau PhD jurusan pengetahuan binatang dari University of Illinois di Urbana Champaign pada tahun 1989.

Grandin kemudian membantu memberikan konsultasi dalam mengenali gejala autis sejak dini. Ia juga memberikan konsultasi kepada para guru sehingga dapat memberikan penanganan langsung kepada anak autis dengan cara yang lebih tepat. Grandin dianggap sebagai pemimpin filosofis bagi gerakan kesejahteraan binatang dan konsultasi autis.

Karya-karyanya mengenai autisme yang ditulisnya dari sudut pandang penyandang autis, sangat membantu para ahli dan dunia kedokteran dalam membantu penanganan autis. (tom)

Bagikan:

Hutomo Dwi

Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.
Banner Promo FXpro