Lawang Sewu adalah gedung tua yang berada di Kota Semarang. Sebelum zaman penjajahan Jepang, gedung ini merupakan kantor perkeretaapian yang dikelola pemerintah kolonial Belanda.
Cerita misteri munculnya arwah noni Belanda ini berawal ketika tentara Jepang masuk menyerbu gedung, dan menjadikannya sebagai salah satu tempat peristirahatan tentara Jepang. Saat itu, terjadi pemerkosaan tentara Jepang terhadap sekitar 20 noni Belanda.
Kabarnya, semua noni ini terdiri dari 10 noni perawan dan 10 sudah nikah. Setelah puas menyalurkan hasratnya, para tentara Jepang memenggal kepala 20 noni tersebut. Dari situ, mistis sering munculnya noni di sekitar Lawang Sewu berawal. Warga disekitar Lawang Sewu sering melihat penampakan sosok noni Belanda. Dengan rambut panjang terurai dan berbusana long dress warna putih.
Pada era Belanda lebih dikenal dengan istilah Lawang Sewu atau pintu seribu, karena ribuan pintu dan jendela tersebar di mana-mana. Disana terdapat lantai dua di bagian belakang gedung memiliki sekitar 20 ruangan berjajar yang masing-masing memiliki sebanyak 6 pintu. Jika lawang bisa diartikan sebagai pintu atau pintu menyerupai jendela, maka diyakini Lawang Sewu memiliki 1000 pintu.
Namun uniknya, dari berbagai pengalaman para wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang mengunjunginya, saat menghitung jumlah pintu selalu tidak akan menemukan jumlah sampai 1000 pintu atau 1000 lawang. Hingga kini, rahasia ini diyakini sebagai mitos jika satu pintunya merupakan pintu mistis, jalan masuk arwah para penunggu gedung Lawang Sewu tersebut.
Selain rahasia pintu seribu, juga ada bagian lain dari Lawang Sewu yaitu bungker, atau ruang bawah tanah. Bungker ini sebetulnya tempat penyimpanan atau persediaan air bersih pada Zaman Belanda. Di ruangan pengap tersebut, terdapat beberapa lampu temaram yang masih terlihat baru. Konon dipasang lampu karena banyaknya orang yang kesurupan di tempat itu.
Pada masa Jepang, bungker itu dijadikan penjara dadakan untuk menahan para pejuang dan tentara Belanda yang tertangkap. Selain itu, tempat itu dijadikan sebagai tempat penyiksaan dan pembantaian tentara dan noni Belanda. Saat pertempuran lima hari di Semarang, mayat-mayat tersebut dijadikan satu dalam delapan ruangan di sebelah kiri, kemudian ruangan tersebut ditembok untuk menghilangkan bau mayat. (nha)