Indonesia yang kaya akan keindahan alamnya seolah tak pernah membuat kita berhenti untuk berdecak kagum. Salah satu potret keindahan alam Indonesia bisa kita temukan di desa Wae Rebo yang ada di Manggarai Barat, Flores-Nusa Tenggara Timur. Desa Wae Rebo yang secara geografis terletak di atas ketinggian 1.200 meter di atas permukaan laut, membuatnya dijuluki dengan nama â??kampung di atas awanâ?? karena kawasan ini selalu diselimuti kabut putih tipis dengan hawa sejuk yang menenangkan hati serta pikiran kamu. Desa Wae Rebo merupakan desa adat yang hanya dihuni oleh 112 kepala keluarga atau sekitar 700 jiwa. Konon, masyarakat Wae Rebo merupakan keturunan orang Minangkabau yang datang sekitar seribu tahun yang lalu.
Semua penduduknya tersebar di tujuh rumah adat yang dinamakan Mbaru Niang. Di Wae Rebo hanya dibolehkan berdiri tujuh Mbaru Niang saja, tak boleh lebih. Mbaru Niang merupakan rumah adat tradisional Flores yang menjadi daya tarik utama desa ini. Dalam bahasa Manggarai, Mbaru Niang berarti â??rumah drumâ?? karena pada salah satu bagian rumah digunakan untuk menyimpan drum pusaka suci yang digunakan untuk berkomunikasi dengan nenek moyang. Rumah adat ini berbentuk kerucut yang dibangun dengan cara tradisional dengan atap terbuat dari ijuk yang hampir menyentuh tanah. Bentuk kerucut ini melambangkan persaudaraan yang tak pernah putus di Wae Rebo sementara pada bagian tengahnya terdapat tiang kokoh untuk menopang rumah yang melambangkan leluhur Wae Rebo sebagai titik pusatnya.
Mbaru Niang memiliki tinggi sekitar 15 meter dengan lima tingkat yang terbuat dari kayu worok dan bambu dengan rotan untuk mengikat konstruksinya. Pada tingkat pertama disebut lutur yang berarti tenda yang berfungsi sebagai tempat tinggal dan berkumpul keluarga. Lalu pada tingkat kedua disebut lobo yang berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan bahan makanan dan keperluan sehari-hari. Tingkat tiga disebut lentar yang digunakan untuk menyimpan benih-benih tanaman seperti jagung, padi, dan kacang-kacangan. Tingkat keempat disebut lempa rae yang digunakan sebagi tempat menyimpan stok panganan jika terjadi kekeringan. Lalu yang terakhir disebut dengan hekang kode yang berfungsi sebagai tempat menyimpan sesajian untuk persembahan pada para leluhur.
Bentuknya yang unik serta kelestariannya yang masih terjaga membuat Mbaru Niang mendapat penghargaan di UNESCO Asia-Pasific Award 2012 dengan kategori Award of Excellence yang diberikan untuk bangunan konservasi yang berumur lebih dari lima puluh tahun. Keelokan Wae Rebo tak hanya terbatas pada bangunan Mbaru Niang saja, tapi juga pemandangan sekitarnya. Wae Rebo di kelilingi dengan gunung dan bukit hijau sehingga membuat desa ini selalu berselimut kabut. Pada malam harinya, kamu bisa dengan jelas melihat gugusan bintang bimasakti jika langit sedang jernih. Sedangkan pada pagi harinya, kamu bisa ikut menumbuk kopi atau menenun kain yang dinamakan kain cura dengan motif khas yang berwarna cerah. Kopi dan kain songket ini merupakan keunggulan yang dimiliki Wae Rebo.
Buat JBers yang ingin datang ke Wae Rebo ini, kamu bisa naik pesawat dari menuju Labuhan Bajo, dari sini kamu bisa mengambil rute memutar melalui desa Denge, yakni desa yang terdekat dari Wae Rebo dengan menggunakan kendaraan selama delapan jam. Setelah sampai di desa Denge, barulah kamu berjalan kaki menuju Wae Rebo selama kurang lebih empat jam lamanya. Meski harus trekking dalam waktu yang cukup lama, tapi pemandangan hamparan sawah, bukit hijau, serta pesisir pantai yang indah mampu membuat kamu terpesona sehingga tanpa sadar kamu sudah sampai di desa Wae Rebo. Saat sampai di sana, kamu harus menjalani ritual yang dinamakan Paâ??u Wae Luâ??u yang bertujuan untuk meminta izin dan perlindungan kepada roh leluhur terhadap tamu yang datang. Sebelum ritual ini selesai, kamu tidak diperbolehkan mengambil foto atau melakukan kegiatan lainnya.
Tak hanya turis lokal yang berdatangan ke Wae Rebo, tapi juga turis asing dari berbagai belahan dunia. Menurut data setempat, ada sekitar 300-an turis asing yang datang setiap tahunnya mulai dari Belanda, Perancis, Australia, dan masih banyak lagi. Berhubung Wae Rebo merupakan desa adat, ada beberapa peraturan yang harus kamu patuhi seperti berpakaian yang sopan dan tidak boleh mengenakan pakaian yang mini. Selain karena untuk menjaga kesopanan, udara di sini sangat dingin sekali loh JBers. Kamu juga dilarang untuk menunjukkan kemesraan, mengumpat hingga mengatakan kata-kata yang kasar. Jika kamu ingin menginap, tarif yang dikenakan mulai dari Rp 250.000-Rp 300.000 perorang, termasuk makan tiga kali. Tapi jika kamu tak menginap, kamu cukup membayar Rp 100.000 saja untuk dapat menikmati eloknya desa Wae Rebo ini. Selamat berwisata JBers! (jow)