Don't be Captious

STORY: Samuel Franklyn, Sang Programmer Lumpuh

Hutomo Dwi
Hutomo Dwi
Cowok penyuka Jepang, dari bahasa, musik, sampai film dan animenya.

Menjadi seorang programmer tidaklah mudah, karena membutuhkan ketelitian yang sangat tinggi. Selain itu menjadi seorang programmer biasanya bekerja dengan duduk di depan komputer atau laptop selama berjam-jam. Namun ada yang unik dari programmer Indonesia yang satu ini.

Samuel Frankly, 47 tahun, terpaksa melakukan pekerjaannya sembari tiduran. Pria lulusan SMA Regina Pacis ini lumpuh akibat sebuah kecelakaan yang terjadi empat tahun lalu. Dirinya tak pernah putus asa meski harus menjalani pekerjaannya dari atas tempat tidur. Sebagai programmer, dia tetap bersemangat menyelesaikan sejumlah pekerjaannya sembari merebahkan tubuhnya. “Gue belum nyerah,” katanya.

Samuel yang memiliki bobot 120 kg lebih itu dikenal sebagai sosok yang mudah tertawa, serta sedikit keras kepala. Selama empat tahun terakhir, dia terpaksa menjalani hidupnya dengan terlentang. Selama itu pula, seluruh aktivitasnya mulai dari makan, minum, bekerja dan lainnya hanya dilakukan dari atas tempat tidur. Bahkan, buang air besar hanya bisa dia lakukan setelah berguling dan telungkup.

Kelumpuhan itu mulai dialaminya setelah mengalami kecelakaan pada tahun 2010 lalu. Tak lama kemudian, Sam tiba-tiba terjatuh saat berjalan. Kemudian berlanjut dengan rasa kesemutan, sebelum akhirnya lumpuh sama sekali. Setelah dilakukan tes medis, rupanya tulang belakang dia patah, saraf utamanya terputus.

Dari atas ranjang, Samuel atau akrab disapa Sam terus bekerja sebagai freelance programmer. Dilansir dari Merdeka, Kamis (4/9/2014), terakhir dia menggarap migrasi sistem IT taksi Gamya. Belum lama ini, Galileo, software company tempat dia bekerja dulu berbaik hati mempekerjakan dia lagi meskipun hanya bisa bekerja sambil terlentang.

Supaya bisa terus bekerja, Sam membuat sebuah dudukan laptop dari besi yang melintang di atas perutnya. Sembari mencari metode pengobatan alternatif. Pasalnya, dokter-dokter di Jakarta sudah angkat tangan, karena dia harus dioperasi tulang punggung.

Hanya saja, sebelum operasi dia ragu bisa menjalani scanning MRI karena ukuran tubuhnya yang super besar. Seluruh tabung MRI di semua rumah sakit di Indonesia tidak ada yang sesuai dengan bobotnya yang besar. Selain itu, kalau dioperasi, meja operasi yang big size pun tidak tersedia. Dan kalaupun dia dioperasi, tidak ada pen yang cocok untuk ukurannya. Kalau dipaksakan, bisa patah dan malah fatal.

“Gue browsing ada sinshe Shaolin yang katanya jago bener ngobatin patah tulang belakang kayak gue ini. Cuma, karena tulang belakang gue udah keburu nyambung lagi, katanya dia harus patahin dulu. Gue lagi mikir-mikir,” lanjutnya.

Sam memiliki sebuah opsi, yakni menjalani operasi di luar negeri. Namun, pilihan itu tak bisa dia ambil mengingat kondisi keuangannya yang kembang kempis. “Yang jelas ini gak mahal, kalau mahal gue enggak kuat bayar lah,” ujarnya sembari terkekeh.

Dia kini tinggal di sebuah rumah petak di sebuah gang sempit di kawasan Tanjung Duren, Jakarta Barat. Ayah ibunya sudah meninggal. Dia sendiri belum menikah. Satu-satunya kerabat dia adalah adiknya. Semoga Sam bisa sembuh dan bisa melakukan pekerjaannya seperti sedia kala. (tom)

Latest article