Kehidupan seseorang memang tidak ada yang tahu. Bisa saja yang dulunya kesulitan mencari nafkah, kini bisa menjadi kaya raya dan sukses, seperti yang dialami oleh Jack Ma berikut ini.
Jack Ma adalah pendiri Alibaba, perusahaan perdagangan via Internet. Dilansir dari Ft.com, Senin (22/9/2014), sebelum mendirikan perusahaan perdagangan via Internet, Jack Ma bekerja sebagai guru bahasa Inggris sebuah kampus di kota kelahirannya. Gaji Ma dalam Yuan bila dikonversi ke Rupiah hanya sekitar Rp 180.000 per bulan.
Sewaktu muda, Ma Yun (nama aslinya) adalah anak yang suka berbahasa Inggris, tak lazim bagi warga Tiongkok kala itu. Dari biografinya yang kerap dikutip media, sedari SD dia nekat bersepeda ke hotel berjarak 45 menit dari Kota Hanzhou, demi bercakap-cakap dengan turis asing asal Eropa dan AS.
Ketekunan itu mengantarnya kuliah di jurusan bahasa asing, dan bahkan terpilih menjadi dosen di kampusnya. Tapi gaji minim sebagai pengajar membuatnya tak tahan. Alhasil, Ma mencoba cari penghasilan tambahan dengan melamar ke gerai ayam goreng KFC. Dia ditolak, karena dianggap tidak cocok bekerja sebagai pelayan. Demikian pula lamarannya untuk bekerja paruh waktu di hotel dan kepolisian. Semua ditolak. Inilah awal pilihannya banting setir jadi pengusaha. Dalam wawancara stasiun televisi CNN, Jack Ma yang kini berusia 49 tahun mengaku kenal teknologi bernama Internet pertama kali 19 tahun lalu. Karena bisa berbahasa Inggris, dia beruntung diajak delegasi bisnis Tiongkok melawat ke Kota Seattle, Amerika Serikat.
Di sanalah, Ma bertemu sang mentor: seorang warga Negeri Paman Sam penggemar teknologi. Si bule cerita bermacam hal soal kehebatan Internet dan peluang bisnis dari benda asing itu. Ambisi Ma berwirausaha memuncak. Dia muak jadi pengajar yang cuma dibayar Rp 180.000 per bulan.
Berkat sang kenalan baru dari AS, Ma yakin bahwa jaringan data lewat komputer ini bisa digunakan buat berbisnis. Padahal dia tak jago komputer sama sekali. Selentingan populer menyebut Ma waktu itu tak tahu cara mengetik di keyboard.
Asingnya Internet pada tahun 1995 berakibat pada lemotnya koneksi. Masa itu bahkan sempat bikin Jack Ma keki. Buat menunggu komputernya online pertama kali, Ma butuh waktu 35 menit. Di sela-sela menunggu sambungan Internet, dia main kartu bersama tetangga. Sebagian mengejeknya sok tahu. “Tapi saya puas, pada akhirnya saya bisa buktikan kalau benda bernama Internet itu benar-benar ada.”
Bermodal pinjaman dari sang paman senilai Rp 24 juta, Ma mendirikan sebuah layanan daftar nomor telepon dan identitas perusahaan seluruh Tiongkok . Mirip Yellow Pages, tapi berbasis Internet. Usaha ini dia lakukan dari apartemennya yang sempit tak lama selepas memahami apa itu Internet dan seluk beluknya. Semua orang terus mengejeknya, orang buta komputer kok coba-coba bisnis Internet.
Tiga tahun berlalu, Ma kemudian berhasil mengembangkan bisnis. Pada 1999, dia mendirikan perusahaan fokus pada e-commerce diberi nama Alibaba. Karyawan awal 17 orang, semua teman-teman dekat. Bisnis perusahaan ini apa saja: menjual barang, menawarkan voucher promo, pengiriman paket, bahkan kini sudah merambah pembayaran Internet (e-Payment) hingga pengelolaan investasi.
Pendapatan kotor Alibaba pada 2013 mencapai USD 7,5 miliar, dan kini Ma mempekerjakan 22.000 pegawai. Dari situ Ma mulai melebarkan bisnisnya ke AS dan Eropa, dan terbukti berhasil dengan sahamnya yang terus berputar di Wall Street. Dana segar terkumpul dari IPO ini minimal USD 24,3 miliar atau setara Rp 243 triliun. Imbasnya, kapitalisasi pasar Alibaba mencapai USD 165,5 miliar (Rp 1.655 triliun), melampaui beberapa raksasa bisnis Internet dunia lainnya seperti Amazon dan eBay.
Dengan seluruh kehebohan yang dia buat, mayoritas analis bursa terkejut melihat latar pendidikan Ma. Dia bukan lulusan kampus ternama, atau paling tidak pernah bekerja di Silicon Valley seperti lazimnya bos perusahaan teknologi informasi. Ma bukan orang seberuntung Mark Zuckerberg atau Bill Gates.
Ma hanyalah anak dari keluarga menengah Tiongkok biasa, kebetulan fasih berbahasa Inggris. Tapi memang diakui Ma punya ketekunan dan pola pikir tak lazim dibanding sejawatnya yang rata-rata takut pada dominasi Partai Komunis China. (tom)